Senin, 25 April 2016

Wonderfull Weekend

“Sudah siap Mil? Ntar lagi aku nyampe kostmu lho.”

“Ok, aku tunggu di depan aja ya biar kita langsung berangkat.”

“Jangan lupa bawa semua barang yang aku bilang ke kamu tadi lho! Udah dulu ya”

Aku keluar dari kamar dan menguncinya. Lalu diceknya lagi isi tas yang dibawanya.

“Lingerie ada, kimono ada, scarf… 1, 2, 3, 4, 5. Sip! Lakban, OK. Siap untuk berangkat.” Kataku sendiri.



Oya, namaku Mila. Aku kuliah di salah satu perguruan tinggi Yogyakarta. Malam ini aku akan menginap di villa dengan teman-teman baruku, semuanya cewek. Awalnya aku tidak tau kalau mereka semua adalah penyuka sex sesama jenis, alias lesbi. Tapi mungkin karena aku sedang jomblo dan ingin mencoba hal yang baru, maka aku tetap saja bergaul dengan mereka. Alangkah lebih terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa teman-teman baruku tersebut selain lesbi, mereka juga menyukai bondage, kadang sebagai bumbu dalam hubungan sex ataupun hanya saling mengikat salah satu partner. Aku yang memang menyukai bondage dari dulu jadi makin masuk ke kelompok temanku itu meskipun aku bukan lesbian. Entah kenapa dengan tangan dan kaki terikat aku merasa sangat sexy dan mudah terangsang. Ketidak berdayaan itu adalah keadaan paling sensual bagiku. Pagi itu aku sudah rapih, mengenakan blus berwarna kuning berkerah shang hai dengan kancing-kancing berjejer dari leher sampai ke pusar, memakai rok mini berwarna putih dan sepatu kesayanganku yang berwarna putih.

Mobil Kijang warna silver berhenti tepat di depan pintu pagar kostku.

“Ayo cepet! Keburu malam lho!” Seru Diah dari dalam mobil.

Aku membuka pintu mobil dan segera masuk ke dalamnya. Diah ada di belakang kemudi, dia yang sering kita anggap sebagai leader dari gang kita. Susan ada di sampingnya dan Novi duduk di sebelahku.
Mobil beranjak dan menuju ke salah satu obyek wisata yang ada di kota Yogyakarta.

“Sudah bawa scarfnya kan?” Tanya Diah padaku.

Aku menganggukkan kepala sambil membuka tas yang aku bawa.

“Nov, tutup mata Mila ya. Anggap aja sebagai tes awal.”

Novi memilih salah satu dari scarf yang aku bawa. Diambilnya satu yang berwarna hitam, melipat sedemikian rupa dan kemudian digunakan untuk menutup mataku. Scarf itu diikatkan ke belakang kepalaku, tidak cuma sekali tapi dua kali sehingga terasa erat sekali. Ada perasaan lain saat aku tidak dapat melihat apapun, ada sedikit rasa horny.

“Nikmati kebebasanmu Mil, karena sejak saat kamu akan menjadi budak kita. Minggu sore permainan ini baru selesai. Ok?” Kata Diah lagi.

“Iya.”

“Wah, scarf kamu keren-keren warnanya lho Mil. Beli dimana nich? Kayaknya harganya juga gak murah ya?” Kata Novi yang kelihatannya sedang memeriksa barang bawaanku.

Scarf yang aku bawa memang sengaja aku pilih dengan warna yang berbeda-beda. Ada yang merah, hijau, kuning, pink dan hitam yang sedang menutup mataku saat ini.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam saja, menikmati ketidakberdayaanku karena setelah mataku ditutup, tanganku juga diikat dengan scarfku yang lain kebelakang.

“Kok diem aja sich Mil?” Goda Susan.

Aku tidak menjawab, masih terhanyut dengan suasana.

“Sudah tho San, kamu jangan ganggu Mila yang lagi dag dig dug. Ya kan Mil?"

Aku hanya tersenyum.

Akhirnya mobil berhenti. Terdengar suara garasi dibuka dan mobil bergerak memasuki garasi. Kudengar Diah, Susan dan Novi membuka pintu dan beranjak keluar. Kemudian salah satu dari mereka membuka pintu dan membantuku keluar dari mobil. Rasanya tambah deg-degan perasaanku saat aku dituntun masuk ke vila. Aku kemudian didudukkan di sofa, tutup mataku dibuka tapi scarf yang melilit erat di tanganku didiemin aja.

“Sudah sampe tujuan. Gimana, siap untuk permainan selanjutnya?” Tanya Susan kepadaku.

“Ayuk… Siapa takut?” Jawabku.

“Mending mandi dulu aja, biar wangi.” Kata Novi yang kayaknya sedang sibuk membongkar tasnya.

Aku hanya memandangi mereka yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Novi sedang sibuk mencari peralatan mandinya, handuk sudah ada di pundaknya. Susan sedang menutup korden-korden jendela vila. Sedangkan aku,...

“Mau ngapain....? Tanganku masih terikat erat kebelakang,.. ya diem aja.....” pikirku

“Biar kalo kita telanjang gak ada yang ngeliat, hehehe. Diah! Kordennya baru ya? Pas kita kesini kan masih warna merah tua kan? Warnanya keren! Tambah bikin horny, hehehe”

Habis itu Susan, Novi dan Diah masuk ke kamar mandi bareng, entah ngapain. Tinggal aku sendirian di ruang tengah vila dalam keadaan terikat erat. Gak terasa setengah jam berlalu, ketiganya baru keluar dari kamar mandi, hanya memakai kimono aja.

“Sana giliranmu mandi. Yang masih ‘virgin’ mandinya sendirian. Hehehe.” kata Diah

“Oya, abis mandi pake kimono aja, tanpa underwear. Dan jangan lupa, keluar dari kamar mandi matanya ditutup lagi pake scarf ya.” Lanjut Diah sambil melepaskan scarf yang mengikat di tanganku.

Aku mandi secepat-cepatnya, gak sabar pingin tau permainan apa selanjutnya. Selesai mandi aku pakai kimono yang aku bawa dari rumah kemudian dengan sukarela menutup mataku dengan scarf milikku. Aku buka pintu kamar mandi dan berjalan pelan-pelan sambil meraba-raba dinding.

“Wuih, tambah cantik aja kamu pake warna merah gitu.” Seru Diah.

“Terus maju Mil. Yak, berhenti disitu. Lepas kimononya aja, jadi biar kita bisa mengagumi body kamu…” Kata Susan sambil tersenyum.

Aku melakukan apa yang disuruh oleh Susan. Agak sedikit grogi karena aku merasa menjadi tontonan ketiga temanku itu.

“Gila, badan kamu emang bener-bener bagus seperti yang aku bayangin. Rajin BL ya?”

Aku yang masih berdiri dengan canggung karena telanjang dan menjadi tontonan hanya bisa tersenyum malu.

“Nggak kok.” Jawabku pendek. Suaraku terdengar sedikit bergetar.

“Wah, belum diapa-apain kok sudah grogi sich? Yuk, kita coba aja ‘mainan’ baru kita ini, dari pada cuma ngeliatin aja.” Kata Novi.

Aku mendengar langkah kaki mendekatiku.

“Kamu duduk aja di lantai, gak dingin kok. Kan ada karpetnya.”

Aku duduk seperti yang disuruh. Lalu kakiku dipakaikan sepatuku yang putih tadi berhak 5 cm model yang ada ban karet yang seolah menghubungkan kedua mata kakiku.

Kemudian aku merasakan kedua tanganku diikat dengan tali ke belakang.

“Gimana rasanya diikat Mil? Enak gak?”

Aku hanya menganggukkan kepala.

Kemudian aku merasakan tali dilingkarkan di dadaku kemudian dikencangkan yang membuat buah dadaku terangkat dan mengencang. Rasanya jadi makin sensitif. Lalu giliran kakiku yang bersepatu putih diikat, lututku juga diikat. Setelah semua terikat, semakin tidak berdaya rasanya yang malah makin membuatku makin horny.

“Buka mulut Mil.” Kata Diah.

Aku menurutinya membuka mulutku. Lalu aku merasakan ada kain yang disumpalkan ke mulutku, ditekan dengan kuat sehingga memenuhi seluruh mulutku.

“Gimana rasa celana dalamku? Hehehe. Wangi kan?” Kata Diah sambil tersenyum.

Secara refleks aku berusaha memuntahkan kain yang ternyata adalah celana dalam milik Diah, merasa jijik. Ternyata aku kesulitan melakukannya karena celana dalam itu benar-benar memenuhi rongga mulutku sehingga aku tidak dapat membuka mulutku lebih lebar dan ditambah lagi sekarang entah Diah atau yang lainnya menutup mulutku dengan lakban. Aku berontak karena tidak mengharapkan ada celana dalam, apalagi celana dalam bekas pakai berada di dalam mulutku. Aku merasakan tiga kali lakban ditempelkan di mulutku yang makin membuat mulutku makin tertutup sehingga tidak dapat memuntahkan celana dalam itu.

“Mmmppphhh!!!” Hanya itu suara yang keluar dari mulutku.

“Dinikmati aja Mil, jangan dilawan ya. Hehehe”

Hening suasana. Aku rasanya mulai menikmati keadaan ini. Bersepatu, telanjang bulat, tangan dan kaki terikat, mata tertutup, mulut dilakban. Benar-benar mimpiku yang menjadi kenyataan.

Lalu tiba-tiba buah dadaku yang kiri, yang kencang karena diikat terasa dikulum oleh seseorang, entah Diah, Novi atau Susan. Aku terlonjak karena tidak mengira akan dikulum. Kemudian kuluman itu bertambah di buah dadaku yang kanan. Makin aku menikmati keadaan ini. Aku hanya mendesah-desah pelan, ekspresi kalau aku menikmatinya.

“Ini lho rasanya jadi tawanan kita. Enak kan?” suara Novi.

Aku hanya menganggukkan kepala pelan sambil terus menikmati kuluman di buah dadaku.
Tiba-tiba aku merasakan hal yang belum pernah aku rasakan, tubuhku dijilati dengan halus dan rasanya dengan penuh perasaan. Rasanya geli bercampur nikmat, pokoknya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata rasa kenikmatan itu.

Entah berapa lama aku ‘dikerjain’, aku hanya menikmatinya sambil sedikit meronta-ronta, tanda bahwa aku menikmati perlakuan ketiga temanku kepadaku.

“Gimana Mila? Enak gak? Kamu keluar berapa kali?” Tanya Susan sedikit bercanda.

“Mmmmppphhhh......” Jawabku tidak jelas.

“Capek? Lemes? Sudah ya, malem ini cukup. Kamu bobo ya…”

Aku tidak menjawab.

“Ambil selimut sana Nov.” Kata Susan.

Aku berpikir apa yang akan dilakukan kepadaku. Kan kalo aku disuruh tidur tinggal dilepasin ikatanku. Atau aku disuruh tidurnya di ruang tengah ya? Aku hanya diam saja, lagian kan hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini.

Aku mendengar suara selimut yang dilemparkan di dekatku. Kemudian badanku diangkat dan diletakkan diatas lembaran selimut itu. Aku merasakan selimut tebal mirip milikku. Lalu badanku digulung-gulungkan sehingga membuat selimut itu menutupi tubuhku, mirip kepompong, hanya kepalaku yang tidak digulung. Yang jelas setelah selesai digulung aku makin tidak bisa bergerak. Belum selesai, aku yang sudah digulung sedemikian rupa ini masih diikat-ikat lagi yang kayaknya tujuannya biar aku tidak bisa lepas dari selimut itu. Aku hanya bisa diam saja, selain karena lemas, aku juga berusaha menikmatinya dan digulung dengan selimut membuat badanku benar-benar tidak dapat digerakkan.

“Sudah selesai!” Kata Diah yang ternyata adalah pengikatku.

“Benar-benar memuaskan.”

“Ayo kita angkat bareng-bareng ke kamar. Mosok ditidurin disini, kan kasian.” Lanjut Diah.

Ketiga temanku mengangkat badanku. Tidak kesulitan karena badanku yang mungil sehingga tidak begitu berat. Sampai di kamar dan diletakkan di atas ranjang ternyata ikatanku belum selesai. Aku yang dalam posisi digulung itu masih diikat lagi pada 4 sisi ranjang, makin tidak bisa bergerak.

“Harap maklum ya Mil, biar kamu gak jatuh kalo pas bobo, hehehe.” Kata Diah.

 “Kurang satu hal lagi nich”

Aku merasakan ada kain yang kemudian aku tahu kalo itu adalah sarung bantal ditutupkan atau disarungkan di kepalaku, sehingga sekarang semua badanku tidak kelihatan sama sekali. Dari leher sampai kaki tertutup selimut, kepala tertutup sarung bantal. Kemudian ada selimut atau bedcover, aku tidak tahu, diselimutkan di badanku.

“Biar tambah anget ya Say… Met bobo. Siapkan diri untuk permainan besok ya”

Aku hanya diam. Aku tidak membayangkan akan mengalami hal-hal yang selama ini hanya ada didalam fantasiku bisa menjadi kenyataan, malah bisa dibilang hal yang aku alami saat ini lebih dari fantasiku. Terikat, mata dan mulut tertutup sich masih kadang terlintas dalam benakku, tapi aku gak pernah membayangkan keadaan digulung dengan selimut seperti yang sedang aku alami ini. Benar-benar fantastis! Aku berusaha tidur sambil bertanya-tanya dan membayangkan permainan apa lagi yang akan aku alami besok hari dan menikmati ketidak berdayaanku.



SABTU SIANG 29 MEI

“Kok gelap semua? Aku ada dimana nich?” Tanyaku pada diriku sendiri.

Aku berusaha membuka mataku tapi tidak bisa, semua terasa gelap. Aku membuka mulutku 
”mmmppphhh!!” tapi juga tidak bisa.

Demikian juga dengan tangan dan kakiku tidak bisa digerakkan sama sekali. Nafasku terasa berat. Aku agak sulit bernapas karena ada sesuatu yang menghalangi hidungku untuk menghirup udara dengan bebas. Tangan dan kakiku tidak dapat digerakkan dan ada sejenis kain yang membungkusku.

“Apa yang terjadi padaku?”

Aku menenangkan diri sejenak sambil berpikir apa yang sedang aku alami saat ini. Tidak lama aku aku mulai bisa mengerti, kemarin aku menginap di vila dan aku dengan sukarela diperlakukan sedemikian rupa hingga aku mengalami hal yang aku rasakan saat ini, terikat tak berdaya tanpa bisa menggerakkan tangan dan kakiku, membuka mata dan membuka mulut. Aku juga mulai ingat kalau sebelum tidur kemarin aku dibungkus dengan selimut dan sarung bantal menutupi wajahku. Aku berusaha menggerak-gerakkan badanku berharap ikatan di tubuhku sudah dilepaskan atau dikendurkan, yang ternyata dugaanku itu salah.

Karena capek dengan usaha sia-siaku itu aku diam saja, pasrah.

“Selamat pagi tawananku. Gimana tidurnya, enak?” Tiba-tiba terdengar suara Diah.

“Mmmppphhhh.....…” 

Hanya itu jawabku sambil menggerak-gerakkan badanku untuk menunjukkan kalau aku ingin dilepaskan dari ikatan. Aku sebenarnya menikmati keadaan terbelenggu itu tapi aku punya kebiasaan pipis di pagi hari jadi aku ingin dilepas untuk pipis, habis itu diikat lagi bukan masalah bagiku.

Kelihatannya Diah tahu apa yang aku inginkan karena dia mulai melepas ikatanku satu demi satu.

“Sana kalau mau buang hajat sambil menikmati kebebasanmu”

Aku nyelonong ke kamar mandi karena memang bener-bener kebelet. Keluar dari kamar mandi aku baru melihat seperti apa suasana kamar yang aku tempati semalam. Kamar dengan cat dinding berwarna putih, ranjang double model brass bed dengan 4 sisi besi di setiap sudutnya, tampaknya tempat tali-tali yang mengikat tubuhku semalam. Aku juga melihat selimut yang dipakai untuk membungkusku semalam, selimut tebal polos berwarna merah maroon. Ada bed cover warna pink yang menyelimuti bungkusan diriku tergeletak di lantai kamar. Aku melihat di ujung kamar ada pintu menuju balkon yang menjadi jendela juga karena pintu terbuat dari kaca. Korden tebal warna merah tua yang menutupi jendela itu sudah dibuka sehingga cahaya matahari bisa masuk ke dalam kamar.

Diah tersenyum manis kepadaku melihatku keluar dari kamar mandi. Aku segera menuju ranjang untuk menutupi tubuhku yang telanjang bulat dengan selimut karena agak malu.

“Gimana bobonya? Enak gak?” Tanya Diah.

Kulihat Diah yang sangat terlihat sangat cantik walaupun dia belum mandi. Dia hanya mengenakan lingerie berwarna ungu yang menurutku sangat ‘minimalis’.

Aku hanya menggangguk, menjawab pertanyaan Diah itu.

“Masih bisa menerima perlakuan seperti semalam?” Tanya Diah lagi.

Sekali lagi aku hanya mengangguk, agak malu untuk menjawab dengan kata-kata.

“Tidak usah malu dengan aku. Aku juga senang kok bisa melakukan hal-hal yang aku senangi, seperti semalam. Dan kamu tenang aja, aku tidak akan melakukan penyiksaan-penyiksaan, misalnya menetesi lilin di badanmu atau menjepit putingmu dengan penjepit jemuran. Aku, Susan dan Novi hanya senang mengikat-diikat. Tidak mungkin kita membuat tawanan atau budak kita sampai memelas-melas ataupun menangis karena kita siksa.”

“Iya, aku juga ngerti kok. Aku juga sudah terima semua konsekwensi yang mungkin aku terima.”

“Tenang aja Non, hehehe. Oya, boleh aku nanya sesuatu kepadamu?”

“Silakan aja…”

“Perlakuan kita yang semalam buat kamu paling suka atau terangsang yang mana?”

Aku diam sambil berpikir, memilah-milah jawaban karena aku sepertinya suka semua perlakuan mereka.

“Kayaknya aku paling suka saat aku dibungkus dengan selimut itu. Jujur aku sering melakukan kalau sedang sendirian sambil membayangkan aku diculik, diikat dan tidak berdaya. Entah kenapa aku agak greeeng kalau melihat selimut, khususnya selimut tebal ataupun bed cover. Nanti malam kalau aku digulung lagi aku gak nolak kok, hehehe.”

“Gampanglah masalah itu. Masih ada permainan lain yang bisa kita lakukan. Liburan akhir minggu kita masih panjang Bu.” Jawab Diah sambil tersenyum penuh arti.

“Kamu mandi dulu sana, sudah jam 9 lho. Abis itu kita sarapan, baru abis itu kita lanjutkan session berikutnya.”

“Iya dech. Eh, Novi sama Susan dimana kok gak kelihatan?” Tanyaku pada Diah.

“Lagi sibuk berdua di kamar sebelah. Tau sendiri kan?”

Aku menganggukkan kepala, kemudian menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kan semalam tubuhku sudah dijilati semua jadi penuh dengan air liur kan?

Selesai mandi, masih dengan telanjang bulat karena handuknya sengaja aku tinggal di kamar mandi, aku keluar dan kulihat Diah masih menungguku. Dia sedang membereskan ranjang, melipat selimut yang digunakan untuk membungkusku dan menutupkan bed cover di atas ranjang.

“Sudah selesai ya? Segar kan?”

“Iya, enak banget rasanya mandi pake air anget.”

“Sarapan dulu yuk, sudah aku siapin di meja tuch.”

Aku mengikuti Diah menuju ke meja makan. Aku melewati satu kamar yang pintunya terbuka lebar. Kulihat Susan dan Novi sedang di atas ranjang, Novi terikat dalam posisi tidur telentang dan Susan duduk di sampingnya, sedang memainkan sex toy atau istilah lainnya dildo di vagina Novi. Suara desahan terdengar dari mulut Novi.

“Nov, San! Makan dulu aja yuk…”

“Novi semalem kebanyakan minum obat perangsang tuch. Sampai pagi masih pingin aja dipuasin.” Kata Diah sambil menyuapkan nasi di mulutnya.

Tidak lama kemudian Novi telah dilepaskan dari ikatannya dan Susan menyusul kita di meja makan. Susan memakai kimono tidurnya sedangkan Novi menutupi tubuhnya dengan selimut yang digunakan sebagai kemben. Wajah keduanya masih awut-awutan terutama Novi.

“Pagi Non, gimana bobo semalem? Enak kan?” Tanya Susan.

“Yaaa, begitulah kira-kira, hehehe.”

“Siap dengan pelatihan berikutnya?”

“Siapa takut?” Jawabku dengan bercanda.

Kita berempat lalu menyelesaikan sarapan dengan obrolan-obrolan ringan tanpa menyinggung hal-hal yang kita lakukan semalam.

Selesai makan dan membereskan meja makan kita menikmati suasana pagi sambil duduk-duduk di beranda.

“Villa ini punya siapa sich?” Tanyaku.

“Ya punya pemiliknya dong” Jawab Susan.

“Kok gak ada penjaganya ya?”

“Kita sudah langganan disini dan kita selalu memberi pesan sama penjaganya untuk tidak mengganggu privacy kita. Bapak penjaganya tidur disana itu lho. “ Kata Susan sambil menunjuk ke rumah kecil di dekat pintu gerbang vila.

Vila yang kita tempati agak terpisah dari rumah-rumah yang lain dan dikelilingi dengan pagar tinggi, jadi privacy kita sangat terjaga. Sebenarnya ada kolam renang di belakang rumah tapi hawa yang dingin membuat aku dan teman-temanku berpikir beribu-ribu kali untuk nyebur di kolam renang.

“Yuk, kita lanjutkan pelatihannya.” Kata Novi kemudian.

“Yuuuuk, aku sudah gak sabar ngerjain kamu Mil…” Kata Diah.

Berempat masuk lagi ke dalam rumah, menuju ke kamar yang semalam aku gunakan.

“Scarfnya kamu letakin dimana Mil?”

“Kalau belum kamu keluarin sich masih di dalam tasku.”

Susan beranjak ke tasku yang terletak di dekat pintu, sedang Diah menyuruhku duduk di lantai, di kaki tempat tidur. Dia memegang tanganku dan menariknya ke belakang, setelah itu memborgol kedua tanganku dengan borgol yang digunakan kemarin saat perjalananku ke vila ini. Aku tidak bisa berdiri beranjak lebih jauh karena borgol itu dikaitkan dengan besi kaki ranjang. Susan membawa scarf-scarf milikku dan mendekatiku.

“Enaknya gimana nich, pake disumpal dulu gak mulutnya?” Tanya Susan kemudian.

“Gak usah, langsung aja mulutnya diikat pake scarfnya.” Jawab Novi, pandangannya padaku agak berbeda, kayaknya masih ada sedikit pengaruh obat perangsang semalam.

Susan sibuk menggulung-gulung scarf , membuat simpul di tengahnya.

“Buka mulutmu, yang lebar.”

Aku membuka mulut dengan lebar. Aku sudah bisa membayangkan apa yang akan dilakukan berikutnya.
Scarf dilingkarkan di kepalaku, kemudian dimasukkan di antara gigi dan kemudian dikencangkan, jadi otomatis gigiku menggigit scarf itu. Berikutnya scarf kembali diikatkan lagi, hanya yang ini bedanya diikat tapi menutupi mulutku.

“Gimana Mil? Enak gak?” Tanya Diah yang dari tadi hanya berdiri mengawasi.

“Mmmpphhhh.......!!” Aku hanya mengeluarkan lenguhan tertahan karena suaraku tertahan oleh dua lapis scarf itu.

Ternyata belum selesai. Aku lihat lagi scarf dilingkarkan lagi di kepalaku, tapi kini menutupi mulutku yang sudah tertutup dan hidungku. Sekali lagi aku merasakan sedikit kesulitan dalam bernapas seperti semalam, hanya saja sekarang lebih extreme, lebih sulit untuk bernapas.

“Gak apa apa? Ditambah lagi masih mau?”

Aku hanya menganggukkan kepala.

Susan mengambil scarf warna putih bunga-bunga, scarf yang paling lebar seingatku, melembarkannya dan menutupkannya di kepalaku. Kemudian Susan mengikat ujung-ujungnya di belakang cukup erat. Aku tidak bisa melihat keadaan sekitar, semua hanya berwarna putih dan bunga-bunga kecil motif scarf. Hanya itu yang bisa aku lihat saat ini.

“Enak gak? Puas? Jawab dong Mil…” Tanya Diah.

“Mmmppphhhh!” Hanya itu suara yang keluar dari mulutku. “
Mulutku di sumpal kog di suruh jawab” pikirku

Aku diam saja tidak bergerak menikmati ketidakberdayaan itu ketika tiba-tiba kakiku dipegang, dilebarkan. Lalu aku merasakan sesuatu masuk kedalam vaginaku, aku rasakan bentuknya memanjang mirip alat kelamin pria.

“Kayaknya ini dildo yang tadi dipake Susan sama Novi.” pikirku

Aku diam saja soalnya aku ingin merasakan seperti apa sensasi dengan menggunakan dildo, maklum aku belum pernah pake alat seperti itu.

Dildo tersebut tidak bisa keluar dari vaginaku karena ditahan oleh celana dalam yang aku pakai setelah habis mandi. Berikutnya kakiku dijadikan satu dan diikat di bagian pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki. Ada sesuatu yang ditempelkan dengan lakban di perutku yang kemudian aku ketahui adalah controller dildo itu.
“kita tinggal dulu ya Mil, mau jalan-jalan dulu. Mungkin sejam 2 jam lagi pulang.” Kata Novi kemudian.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh, getaran aneh di dalam vegie-ku, belum pernah aku rasakan. Rasa geli dan nikmat bercampur jadi satu. Refleks aku berontak untuk mengeluarkan dildo yang jadi sumber getaran itu dari vaginaku tapi tidak bisa karena kakiku tertutup erat. Aku mengerang-erang tanpa suara karena tertutup scarf.

“Jaga rumah yaaaa….” Suara Diah terdengar menjauh.

“Mmmmppphhhhhh.......!! sahutku tak berdaya

Sambil merasakan geli dan kenikmatan yang baru aku rasakan, aku mendengar suara mobil menjauh.

“Sialan, aku bener-bener dikerjain, aku disekap sendirian terus mereka tinggal pergi.” pikirku di antara rasa nikmat yang aneh itu menurutku.

Tidak tahu berapa kali aku ‘keluar’, sampai kakiku terasa tegang semua, miss V juga terasa tegang terus sampai pegal. Aku hanya merasakannya sambil berontak berusaha melepaskan diri, meyakinkan diri bahwa aku tak berdaya, seolah-olah aku adalah tawanan yang sedang berusaha melepaskan diri. Nafasku juga makin ngos-ngosan karena hanya bisa bernafas melalui hidung, mulutku tertutup rapat.

Aku tidak mendengar suara mobil masuk karena terlalu berkonsentrasi dengan ‘penderitaan’ yang aku alami saat ini ketika tiba-tiba terdengar suara Diah.

“Hayoooo!!!! Enak ya??”

Aku berusaha berteriak supaya dilepaskan. Diah melepaskan borgol di sebelah tangan kiriku, namun memborgolkannya lagi setelah aku dilepas dari kaki ranjang. Aku langsung jatuh tergeletak karena badanku sangat lemas. Diah mendorong tubuhku sehingga posisi tubuhku sekarang menelungkup. Aku masih berusaha melepaskan dildo di vagina, sudah jenuh dengan rasa nikmat yang aku rasakan. Aku menaik-turunkan pantatku, usaha untuk mengeluarkan dildo yang ternyata percuma saja.

Diah mematikan dildo di vaginaku. Aku hanya bisa tertelungkup lemah, seperti habis push-up 100 set saja rasanya.

“Capek gak Non?” Tanya Diah.

Aku tidak menjawab. Nafasku masih ngos-ngosan. Borgol sekarang benar-benar dilepaskan dari tanganku tapi aku masih tidak bisa menggerakkan tanganku karena begitu lemasnya. Aku kemudian merasakan semua scarf di kepalaku dan tali di kakiku dilepaskan tapi aku terlalu lemas untuk menggerakkan tubuhku. Aku hanya memejamkan mata. Tidur.

SABTU MALAM 29 MEI

Aku membuka mata. Masih di tempat yang sama yaitu di dekat kaki tempat tidur. Sudah malam sekarang karena kulihat melalui jendela langit sudah gelap. Korden belum ditutup. Lampu samping tempat tidur yang menyala jadi suasana hanya remang-remang. Aku berusaha untuk duduk, kaki dan pangkal pahaku terasa sangat pegal. Setelah mengumpulkan tenaga aku bisa berdiri dan melangkah perlahan keluar kamar.

“Eh, Tuan Putri sudah bangun ya…” Kata Novi melihatku melangkah keluar dari kamar dengan langkah yang masih terhuyung-huyung.

Aku hanya tersenyum lemah dan duduk di kursi di dekatku. Teman-temanku sedang menonton acara TV, entah apa.

“Laper gak Non?” Tanya Diah.
“Makan dulu ya biar gak sakit.”

Dia mendekatiku yang ternyata duduk di kursi meja makan. Dia mengambilkan nasi dan lauk. Aku melihat ke jam dinding, ternyata sudah mendekati jam delapan malam. Entah berapa jam aku tertidur setelah ‘disiksa’.
Selesai makan badanku terasa sedikit segar, ditambah dengan sirup yang dibuatkan oleh Diah. Aku bergabung dengan teman-temanku yang masih asyik di depan TV.

“Ujian terberat sudah kamu lewati lho Mil. Gimana rasanya nurut kamu?”

“Capek, lemes.” Jawabku pendek, sedikit tersenyum. Walaupun aku jadi lemas seperti saat ini, aku benar-benar menikmatinya.

Sambil nonton TV ternyata ketiga temanku sedang memainkan permainan yang selama ini hanya aku mainkan di komputer yaitu strip poker. Aku kurang tertarik mengikuti permainan mereka, lebih asyik melihat TV yang sedang menayangkan satu film box office yang dulu tidak sempat aku tonton.

Aku melirik ketiga temanku. Novi dan Susan hanya memakai CD dan bra, sedangkan Diah tinggal menyisakan CD yang menutupi area kenikmatannya. Novi memakai CD dan bra berwarna merah tua, Novi memakai CD dan bra transparan warna hijau tua, sedangkan Diah yang hanya tinggal CD warna ungu yang menempel. Melihat pemandangan seperti itu gairahku mulai bangkit lagi, yang di kemudian hari aku ketahui penyebabnya adalah sirup yang aku minum tadi yang ternyata telah dicampur dengan obat perangsang, sama yang diminum oleh Novi.

“Kamu kalah! Malam ini kamu yang jadi korban!” Seru Susan kepada Diah.

Diah sambil menggerutu melepas CD-nya.

“Silakan dimasukkan Mbak…” Kata Novi kemudian sambil melepaskan CD-nya dan menyerahkannya kepada Diah. Hal yang sama dilakukannya juga oleh Susan.

Diah memasukkan CD teman-temannya itu kedalam mulutnya, kemudian CD miliknya juga masuk kedalam mulutnya. Karena CD ketiganya adalah G-String maka tidak mustahil bisa masuk semua kedalam mulut Diah.

“Kayaknya kurang penuh ya? Mil, sekalian punyamu dilepas, kasihin ke Diah.”

Aku yang dari tadi tersenyum-senyum sambil menahan gairah ikut melepaskan CD yang aku pakai.

“Mmmmffff!!!” Suara dari mulut Diah sambil menggelengkan kepalanya.

“Gak boleh protes!” Novi menjejalkan CD-ku kedalam mulut Diah.

“Nich, pasang sendiri.” Susan menyerahkan lakban kepada Diah. 
"Tiga kali lho.”

Diah melakban sendiri mulutnya, tiga lembar seperti semalam aku alami. Aku tambah dag dig dug melihat keadaan Diah yang mulutnya terlihat menggelembung dan tertutup lakban.

“Ayo ke kamar. Kamu juga Mil.”

Kita berempat menuju ke kamar, kamar yang aku tempati. Sesampainya di dalam Novi dan Susan menyiapkan tali dan mulai mengikat Diah di tempat tidur. Posisi Diah setelah diikat hampir mirip posisi spreadeagle hanya bedanya kakinya menjuntai ke bawah tapi terikat erat di kaki-kaki ranjang. Pantatnya tepat di ujung tempat tidur sehingga otomatis vaginanya menganga di ujung tempat tidur, jadi tidak perlu naik ke tempat tidur untuk menikmatinya.

“Mila, sebagai kehormatan buat kamu, silakan kamu nikmati vegi Diah ya. Syaratnya kamu hanya boleh pakai mulut dan lidah saja, tidak boleh pakai tangan, jadi tanganmu aku ikat dulu ya. Sudah horny banget kan kamu?”

Ternyata mereka tahu kalau aku sudah terpengaruh obat yang dicampurkan kedalam minuman tadi.
Setelah tanganku diikat erat ke belakang, aku jongkok dan mulai menjilati titik kenikmatan yang ada di depanku. Diah tidak dapat bergerak, hanya mampu mendesah-desah seperti yang aku alami semalam. Novi dan Susan berbagi buah dada. Aku makin menjadi-jadi menjilati vagina Diah, kadang aku sedot, kadang aku gigit-gigit perlahan. Tubuh Diah mengejang. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berteriak-teriak tertahan. Aku juga menjilati pangkal paha turun kebawah sampai ke telapak kaki. Rasanya sangat nikmat bisa menjilati kaki Diah yang putih bersih, masih ada bau wangi sabun yang dia gunakan. Puas ‘membersihkan’ telapak kakinya, aku mulai mengulum jari-jari kakinya satu persatu. Aku jilati juga sela-sela kakinya.

“Nov, lepasin tanganku dong. Tutup mataku aja ya.” Kataku pada Novi.

“Ok”

Novi mendekatiku dan melepaskan ikatan tanganku. Aku mengambil scarf yang ada di dekatku dan menutup sendiri mataku dengannya. Lalu aku merasakan tanganku kembali diikat kedepan. Setelah itu aku lanjutkan lagi aktivitas ‘memandikan’ kaki Diah dengan air liurku. Aku lebih bebas mengekspresikan gairahku karena selain menjilati aku juga bisa meraba-raba kaki Diah dengan tanganku yang diikat ke depan. Tubuh Diah mengejang, mungkin sedang mendapatkan orgasme, entah untuk keberapa kalinya. Aku masih asyik menjilati pahanya dan sekarang menuju ke liang kenikmatannya. Lagi aku jilati clitorisnya, memainkan lidah dan menyedot tepat di lubang kenikmatan.

“Pake ini aja Mil, biar Diah lebih megap-megap.”

Novi memberikan dildo yang tadi siang menyiksaku dan aku mulai memasukkan ke vagina Diah, perlahan-lahan. Aku lakukan gerakan maju mundur seperti yang dilakukan apabila seorang pria dan wanita melakukan hubungan badan. Aku nyalakan getaran di dildo yang sepertinya membuat Diah bertambah tersiksa atau nikmat, aku tidak tahu. Aku terus memainkan alat itu sampai aku terdengar rintihan Diah.

“Ampun Mil, sudah cukup. Ampun!!!” Rintih Diah.

Lakban dan sumpalan di mulut Diah ternyata sudah dibuka.

Aku yang masih bergairah untuk menikmati lubang kenikmatan yang ada di depanku tidak mau berhenti. Aku meletakkan dildo dan mulai lagi menjilati vagina Diah. Erangan dan desahan Diah sekarang jelas terdengar. Akhirnya terdengar lagi lengkingan tanda puncak kenikmatan dan aku menghentikan jilatanku.

“Sudah cukup ya Mil kamu siksa Diah, hehehe. Gimana rasanya? Gurih?” Canda Susan.

“Diah, belum selesai lho. Aku bungkus kamu ya sekarang.” Kata Novi.

Dan apa yang terjadi padaku semalam sekarang dialami oleh Diah. Tangan, dada, lutut dan pergelangan kakinya diikat. Mulut tertutup lakban, mata ditutup scarf. Diah hanya diam pasrah. Aku membantu Novi melembarkan selimut di lantai yang kemudian digunakan untuk menggulung tubuh Diah. Aku membantu menarik-narik ujung selimut supaya gulungannya tambah erat. Setelah itu tali panjang diikat si gulungan itu, dari sekitar dada sampai ke pergelangan kaki. Kami bertiga kemudian mengangkat gulungan dan Diah yang ada di dalamnya dan meletakkan di atas ranjang. Dan masih sama seperti aku semalam, gulungan itu kemudian diikat lagi ke ujung-ujung tempat tidur.

“Selesai buat Diah. Tapi buat budak baru kita, masih ada yang harus dilakukan.” Kata Novi kepadaku kemudian.

Novi memasang kalung kulit di leherku, kemudian mengaitkan rantai di lubang yang ada di kalung. Kemudian tangan kiri dan kananku dipasang sesuatu, bentuknya mirip gelang tapi lebar, terbuat dari kulit. Gelang sebelah kiri dan kanan dihubungkan dengan rantai yang panjangnya kira-kira 20 centimeter. Gelang itu tidak dapat dilepaskan karena dikunci dengan kunci gembok. Sedangkan kaki kiriku dirantai, panjangnya 1 meter dan dikaitkan ke kaki tempat tidur. Dan hal paling akhir yang dilakukan Novi adalah menutup kepalaku dengan masker terbuat dari kulit, berwarna hitam. Masker itu menutup seluruh kepalaku, terasa sangat sesak setelah retsleting yang terletak di bagian belakang dikencangkan. Sekali lagi aku tidak dapat melihat maupun berbicara karena masker itu demikian kencang. Hanya tersedia 2 lubang itu lubang hidung. Rantai leherku kemudian dikaitkan ke kaki tempat tidur.

Novi menepuk-nepuk kepalaku, seperti menepuk-nepuk kepala anjing.
“Malam ini kamu tidur di lantai ya, kamu jagain Diah. Malam ini kamu adalah anjing penjaga yang patuh. Kalau kedinginan ini ada selimut.”

Aku hanya bisa mengangguk karena tidak dapat melihat dimana selimut yang dimaksud oleh Novi. Hawa malam ini memang dingin jadi aku meraba-raba untuk mencarinya. Aku tidur di kaki tempat tidur, posisiku mirip sekali dengan posisi anjing yang sedang tidur, lengkap dengan rantai di leher.

“Selamat tidur Sayang… Sampai jumpa besok pagi.”

Sekali lagi aku merasakan tepukan di kepalaku. Tepukan sayang untuk anjing penjaga.

MINGGU 30 MEI

Tubuhku terasa digoyang-goyangkan. Aku hendak membuka mata tapi tidak bisa, demikian juga dengan mulutku. Aku kemudian teringat kalau semalam aku tidur dengan masker kulit yang menutupi seluruh wajahku. Aku beranjak untuk berdiri tapi leherku tertahan oleh rantai yang dikaitkan dengan kaki tempat tidur. Aku menjadi tambah mengingat semuanya, kan semalam leher, kaki dan tanganku dirantai dan disatukan dengan kaki ranjang. Walaupun tidak terikat kencang seperti malam pertama tapi siksaan yang aku alami saat ini tidak kalah menderitanya. Memang tangan dan kakiku dirantai namun itu cukup menyulitkan gerakan-gerakan yang aku coba lakukan seperti saat semalam aku berusaha menyelimuti tubuhku sendiri.

“Bangun ya, jam 12 kita check out lho.” Terdengar suara Novi kalau tidak salah.

Aku merasakan rantai-rantai di tubuhku mulai dilepas satu persatu. Retsleting yang berada di belakang kepala juga mulai dilepaskan, membuat wajahku sedikit lega. Aku merasakan hawa sejuk ketika masker itu benar-benar lepas dari kepalaku. Pandangan mataku agak terpendar-pendar karena semalaman aliran darah kurang lancar. Kulihat Diah juga sedang dilepaskan dari ikatan dan selimut yang membungkusnya semalaman.

“Bwaaah! Bwaaah! Pegel mulutku dimasukin celana dalam semalaman. Kamu gila, kan dulu-dulu paling 3 celana dalam yang dimasukin.” Kata Diah sambil mengeluarkan CD-CD yang semalaman bersarang di mulutnya, termasuk CD milikku.

Aku lanjutkan kegiatanku dengan mandi. Sepertinya pengaruh obat perangsang semalam sudah hilang karena walau kulihat ketiga temanku yang hanya memakai lingerie aku tidak ada perasaan seperti semalam, tidak ada lagi rasa dag dig dug. Kami berempat memberesi pakaian dan alat-alat yang kita gunakan 2 hari di vila ini. Aku melipat scarf-scarf milikku dan memasukkannya kedalama tasku. Ada juga borgol, tali, rantai yang aku pakai semalam dan dildo yang ternyata jumlahnya lebih dari satu. Aku tersenyum sendiri melihat barang-barang tadi, membayangkan apa yang telah aku lakukan dengan barang-barang tersebut.

“Apa Mila, masih pingin mainan lagi atau teringat ‘saat-saat indah’? Canda Diah.

“Mau tau aja.”

Kita berempat sarapan lagi sambil ngobrol ngalor ngidul. Aku melihat jam dinding baru menunjukkan pukul 8 lebih. Selesai sarapan kita duduk-duduk di sofa depan TV. Cerah sekali cuaca hari ini.

Tiba-tiba Diah dan Novi berubah galak sambil membawa seutas tali.

“Cepat masuk ke dalam bak mandi dan berbaring dalam posisi tertelungkup. Tangan letakkan dibelakang.”

Aku segera melakukan apa yang diperintahkannya. Diah kemudian mengikat kedua tanganku pada bagian pergelangan tangan dan membuat simpul diantaranya. Lalu kedua kakiku ditarik dan diikat menjadi satu dengan tanganku. Novi lalu menjejalkannya Cdku ke dalam mulutku. Untuk menahannya Diah mengikatkan braku pada bagian mulut di belakang kepala. Kemudian Diah membuka keran air dingin yang mulai mengisi bak mandi tersebut dengan kecepatan yang lambat.

“Nikmatilah permainan ini,” bisik Novi sambil tersenyum, kemudian mereka meninggalkan ku sendirian terikat di kamar mandi setelah sebelumnya menguncinya dari luar. Kudengar suara mobilnya meninggalkan garasi. Aku berusaha dengan sekuat tenaga untuk melepaskan ikatan di kaki dan tanganku. Tapi semuanya itu sia-sia saja, disamping tenagaku yang makin terkuras dan perutku yang makin lapar. Sejam kemudian air di bak mandi mulai mencapai batas maksimum sehingga mencapai mulutku yang sudah dalam keadaan mendongak. Kembali aku menggeliat sambil berusaha melepaskan ikatanku tapi goyangan air yang timbul menghentikan aksiku karena hampir masuk ke hidungku. Setelah terikat tak berdaya dalam keadaan bugil dan terendam air selama kurang lebih tiga setengah jam, leherku mulai benar-benar pegal karena harus terus mendongak. Untunglah mereka berdua segera pulang.

“Gimana permainan tadi, asyikkan?” tanya Novi sambil tersenyum sambil melepaskan ikatanku. Aku hanya terdiam tak menjawab.

“Mil, kamu pernah liat film House Of Wax belum?” Tanya Diah.

“Mmm… Aku liat tapi gak semuanya. Ngeri liat film model kayak gitu.”

“Tapi pas adegan yang ada cewek yang dilem mulutnya itu kamu liat?”

Aku menganggukkan kepala.

“Kalo kamu digituin mau gak?”

Aku mengerutkan kening kemudian menggelengkan kepala.

“Nggak mau ah, ntar bibirku bisa sakit semua.”

“Nggak kok. Kita semua pernah mencoba, bisa dilepas Cuma memang bibir harus dikompres dulu pake air anget jadi lemnya agak mencair. Mau ya?”

“Emoh ah, bener-bener ngeri aku.”

“Ayo dong, kan kamu janji bersedia diapa-apain aja. Kita pernah nyoba semua, gak cuman di bibir, vegi kita juga pernah kita coba dilem. Ya prinsipnya sama dengan bibir, sebelum ngelepas biar lebih mudah direndam pake air anget.”

Aku tambah ngeri membayangkan bibir atau veginaku dilem, gimana bisa dibuka. Tapi ada juga pikiran nakal untuk mencobanya.

“Iya dech aku mau.” Jawabku pada akhirnya.

“Tapi syaratnya, ikat aku dulu ya supaya jangan aku memberontak menyulitkan kalian,... Aku juga pingin dipuasin sekali lagi sebelum pulang, hehehe.” Lanjutku. Aku sudah tidak malu lagi mengatakan apa yang aku inginkan, aku benar-benar suka diikat.

“Ok!” Seru Diah.

Dia masuk ke kamar, mengambil tali dan lem yang ternyata sudah dipersiapkannya dari rumah. Tanganku diikat lagi ke belakang, kakiku juga. Aku masih dalam posisi duduk di sofa. Kemudian Diah membuka penutup lem, sejenis lem yang biasa digunakan untuk mengelem plastik. Dia mengoles-oleskan lem itu di bibir bawahku, kemudian menyatukan bibir atas dan bawahku.

“Tunggu sebentar, jangan dibuka dulu mulutnya. Biarin kering dulu.” Sambil menempelkan lakban di mulutku

Aku menuruti apa yang dikatakan Diah. Beberapa saat kemudian, setelah aku merasakan bibirku merekat jadi satu, aku berusaha membuka mulutku dan ternyata tidak bisa. Mulutku tertutup rapat. Novi menghampiriku melihat ke arah bibirku.

“Gimana, bisa gak buka mulut?” Tanyanya sambil melepaskan rekatan lakban dumulutku

“Mmmmppphhhh” Aku hanya bisa mengeluarkan suara itu sambil menggelengkan kepala.

Novi membuka simpul kimonoku dan mulai meraba-raba buah dadaku. Mulutnya mengulum buah dada kananku sedangkan tangannya meremas-remas buah dadaku yang sebelah kiri.

“Nov! Bawa Sari kesini dong.” Seru Diah dari arah kamar mandi.

Novi melepaskan ikatan di kakiku dan mengajakku masuk ke kamar mandi. Aku melihat Susan sedang tidur terikat di atas ranjang, pantas saja dari tadi tidak kelihatan berarti tadi aku dan Susan ditinggalkan mereka berdua dalam keadaan terikat. Sampai di kamar mandi Novi mendudukkanku yang masih terikat tanganku di atas closet.

Diah membawa pisau cukur dan mengangkangkan kakiku.

“Biasain bulu vegi itu dicukur halus ya. Jangan banyak bergerak ntar malah kena pisau.”

Dia mulai mencukur bulu-bulu halus di daerah vaginaku, sambil sedikit meremas-remas vegiku. Aku duduk diam, takut terkena pisau cukur itu.

Selesai mencukur aku melihat ke arah vaginaku. Lucu banget bentuknya, kayak punya anak kecil. Aku memang tidak pernah mencukur habis bulu vagina tapi hanya memotongnya pendek. Diah menjilati vegiku sebentar kemudian mengeluarkan lem yang tadi digunakannya lagi. Ternyata dia tidak hanya mengelem mulutku tapi juga vaginaku.

“Kamu adalah budak kami! Kamu tidak punya hak untuk menolak apa yang aku lakukan sama kamu!”

Kata Diah setelah selesai menutup vaginaku. Disisakannya lubang kecil untuk keluarnya air pipis.

“Eh, pulang yuk!!! Sudah jam dua belas lho!!! San, bangun oooiii!!!” Seru Novi dari luar kamar mandi.

“Lepasin dong,.....!!” sahut Susan dari kamarnya

Aku mengamati seperti apa vaginaku saat ini. Bentuknya jadi aneh, menutup menjadi satu. Aku kemudian berdiri dan berjalan menuju kaca untuk melihat bibirku. Di kaca terlihat mulutku yang tertutup, tidak tampak kalau ternyata bibirku dilem. Tanganku masih terikat erat kebelakang.Ada yang aneh di vegiku kalau aku berjalan, kayaknya gara-gara dilem, hehehe.

Mereka bertiga semua sekarang sibuk berganti baju kemudian memasukkan barang-barang kedalam mobil. Aku hanya diam mendengarkan ketiga temanku membicarakan rencana mereka nanti malam untuk nonton bioskop dalam keadaan tanganku masih terikat erat. Aku tidak dapat nimbrung pembicaraan mereka karena mulutku yang benar-benar tertutup rapat dalam arti yang sebenarnya.

“Gimana Mil, akhir minggunya menyenangkan nggak?” Tanya Diah yang duduk di belakang kemudi.

“Mmm” Jawabku pendek.

Novi yang duduk di sebelahku menggelitik pinggangku.

“Mmmppphhh!!!” Hanya suara itu yang muncul dari mulutku.

“Ihhh, jadi terangsang denger suaramu itu lho. Hehehe. Malem ini mau gak nginep di kostku Sar?” Kata Novi.

Aku menggelengkan kepala.

“atau aku menginap di kostmu...?” timpal Susan

Aku kembali menggelengkan kepala.

Sepanjang perjalanan aku hanya bisa memandangi rumah-rumah yang kami lewati, tidak seperti Novi atau Susan yang makan snack yang mereka bawa.

Jam 1 siang mobil sampai di kostku. Sebelum keluar mobil, Susan melepaskan tali yang mengikat kedua tanganku. Aku keluar dari mobil dan tetap tidak bisa mengucapkan satu katapun pada Diah, Susan ataupun Novi. Aku hanya melambaikan tangan dan menunggu mobil Kijang warna silver itu hilang di belokan. Aku segera menuju ke kamarku, menutup pintu dan mengunci nya, melepaskan semua bajuku dan merebahkan badanku di ranjang. Terasa sangat lelah badanku sesampainya di kost.

“Ah, ngurus mulut sama veginya nanti aja ah…” Kataku pada diriku sendiri. Aku terjun ke tempat tidur tanpa melepaskan sepatuku. Aku memeluk guling, membetulkan posisi bantal dan kemudian memejamkan mata yang makin terasa berat. Sambil mengantuk aku masih mengingat-ingat apa yang telah aku alami dan mulai membayangkan jenis siksaan atau ikatan apa lagi yang akan aku alami dan juga membayangkan petualangan-petualangan yang ingin aku lakukan bersama Diah, Novi dan Susan....

BRAAKKK!! Pintu di buka dengan paksa,..... aku terkejut dan terbangun, RAMPOK?! Ada 3 orang pria kekar masuk kedalam kamarku. Dengan cepat mereka membekap mulutku yang memang tak bisa berteriak karena masih dilem, yang lain menarik tanganku kebelakang dan mengikatnya dengan tali nylon yang sangat erat, kakiku pun diikat terpisah ke kaki tempat tidur, jadilah aku terlentang dengan tangan terikat kebelakang dan kaki terikat mengangkang ke kaki tempat tidur, ternyata ketiga pria kekar itu datang bukan untuk merampok, tapi memperkosaku, uugghh... mmmpphhhh...!!! aku tidak berdaya ketika vagina ku menjadi sasaran penis mereka satu per satu

“Krrrriiiiiingggg.....!!” telepon berbunyi dan aku tidak berdaya mengangkatnya,... oh ternyata itu bunyi jam weker di mejaku, aku terbangun,...... ah, rupanya aku bermimpi tadi.

==oo0oo==

Me and My Teacher


Mohon maaf jika ada dari pembaca sekalian yang merasa tersinggung dengan tulisan ini, sama sekali tidak ada niat dari penulis untuk menghina profesi guru dengan cerita ini, karena itu diharapkan anda sekalian dapat menanggapi cerita dewasa ini dengan kedewasaan.

*****

Namaku Indra. Sudah hampir sebulan bulan ini aku menjadi budak seks ibu Anna, Ibu guru biologi di sekolahku. Dengan bermodalkan foto-foto diriku (baca "My Teacher"), dia membuatku menuruti semua perintahnya.

Setiap harinya kecuali hari rabu dimana ibu Anna mengajar praktikum biologi, aku diharuskan datang ke rumahnya, tidak boleh lewat dari jam satu siang. Jam pulang sekolah adalah jam 12:30, namun karena jarak rumah ibu Anna yang tidak terlalu jauh (10 menit perjalanan dengan kendaraan umum) maka itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu di kantin. Walaupun tak urung seorang teman dekatku mulai mencurigai kegiatanku. Karena memang tidak biasanya aku selalu bergegas pergi setelah pulang sekolah. Biasanya aku menghabiskan waktu di sekolahan dengan teman-temanku untuk sekedar ngobrol sambil makan roti bakar atau juga bermain basket sampai sore.


Dengan sebuah kebohongan yang diikuti kebohongan lainnya aku untuk sementara dapat meloloskan diri dari kecurigaannya. Di rumah ibu Anna sudah banyak pekerjaan yang menantiku. Sesudah mencuci piring-piring kotor, kemudian aku mencuci pakaian-pakaiannya dengan mesin cuci, sesudah itu baru aku terakhir menyapu dan mengepel lantai. Pada awalnya pekerjaan itu menghabiskan waktu selama satu jam, kini setelah terbiasa, aku dapat mengerjakannya dalam waktu 30 menit. Ibu Anna sendiri biasanya datang pada jam sekitar jam 01:30-02:00 siang.

Ibu Anna pernah memberikan larangan masuk ke kamarnya jika dia belum datang, namun suatu hari aku pernah memberanikan diri untuk masuk ke kamarnya untuk mencari foto-foto diriku yang kuperkirakan disembunyikannya di suatu tempat di kamarnya. Dengan cepat aku memeriksa dengan seksama kamar itu mencari dimana kira-kira foto-foto itu disembunyikan. Akhirnya aku menemukan satu laci lemarinya yang terkunci. Sesudah mencari beberapa saat, akhirnya aku temukan kuncinya di bawah tumpukan buku.

Namun ketika kubuka laci itu yang kutemukan adalah kumpulan VCD porno yang semuanya kira-kira berjumlah 30 buah dan juga beberapa majalah porno keluaran luar negri. Mau tidak mau aku terkagum-kagum dengan koleksinya. Temanku Agus yang dikenal sebagai "raja bokep" di sekolahku saja tidak mempunyai koleksi sebanyak ini. Setelah kuperhatikan semua VCD dan juga buku-buku pornonya bertema perbudakan kaum pria oleh wanita. Di cover-cover VCD terlihat gambar pria yang disiksa dengan sadis. Beberapa pernah kualami sendiri, namun banyak yang memperlihatkan penyiksaan yang lebih menyakitkan dari pada yang kualami selama ini.

Di salah satu cover VCD yang tampaknya keluaran Jepang aku melihat seorang pria yang di gantung terbalik kemudian disekelilingnya ada 5 wanita yang mencambukinya. Dapat kulihat expressi kesakitannya dan juga bekas-bekas pukulan yang sebelumnya mendarat di tubuhnya. Dalam hatiku berharap ibu Anna tidak tergoda untuk memperlakukan diriku seperti demikian. Dan entah kenapa ada keinginan dalam diriku untuk melihat-lihat yang lain, namun segera saja kuurungkan niatku ketika aku melihat sudah hampir jam setengah dua. Dengan segera aku mengunci laci itu dan meletakkan kuncinya pada tempat sebelumnya. Yah memang hari itu aku sedang beruntung, karena jika terlambat satu menit saja ibu Anna bisa memergokiku yang sedang menggeledah kamarnya.

Sesudah datang biasanya ibu Anna langsung masuk ke kamarnya, dan tanpa diperintah lagi aku mengikutinya masuk. Disana sudah menunggu tugas "kebersihan" lainnya. Ibu Anna dengan santai berbaring di ranjangnya sedangkan aku dengan perlahan melepaskan sepatu hak tingginya lalu mejilati kedua telapak kakinya dengan lidahku sampai bersih. Maksudku benar-benar bersih, ibu Anna tidak mau ada bagian yang terlewat sedikitpun, termasuk disela-sela jarinya. Setelah itu, dia akan memberiku isyarat untuk melepaskan rok yang dikenakannya, sedangkan untuk membuka celana dalam yang dikenakannya aku tidak diperbolehkan menggunakan tanganku, melainkan hanya menggunakan mulutku.

Pada awalnya aku kesulitan dengan tugas satu itu, baru sesudah kulakukan berulang kali aku mulai bisa melakukannya dengan mudah. Sesudah itu vaginanya yang lembab akibat keringat setelah bekerja mengajar seharian, kukecup dengan lembut berulang kali, sesuai dengan yang di ajarkannya padaku. Setelah beberapa kali mendapat petunjuknya, kini bisa dibilang ibu Anna sudah cukup puas dengan keahlianku, sehingga dia hanya berdiam diri saja memperhatikanku mengerjakan pekerjaan rutinku, atau biasanya dia dengan santai menonton film porno yang sebelumnya disetelnya. Sedangkan aku masih terus mencium dan menjilati vaginanya sampai ibu Anna menyuruhku berhenti. Pernah suatu kali aku melakukannya selama hampir satu jam. Akibatnya lidahku menjadi sakit dan kelu. Sedangkan rahangku hampir copot rasanya.

Suatu kali, tanpa terduga ibu Anna memperbolehkanku untuk memasukkan penisku ke vaginanya. Tentu saja aku kegirangan mendapat kesempatan ini. Selama aku mengerjakan pekerjaanku mengoral vaginanya tentu saja aku merasa terangsang, hanya saja biasanya setelah ibu Anna puas dengan pekerjaanku dia kemudian menggunakan vibrator (penis buatan) untuk memuaskan nafsunya yang sudah memuncak. Sedangkan diriku hanya dapat dengan iri melihat vibrator itu melaksanakan tugasnya. Sesudah selesai, barulah ibu Anna menyuruhku pulang. Baru di rumah aku menyalurkan nafsuku dengan mansturbasi. Karena itu kesempatan yang kali ini kudapat tidak akan kusia-siakan begitu saja. Sedangkan ibu Anna sudah siap dengan posisi menungging. Dengan hati-hati aku mencoba untuk memasukkan penisku yang tegang ke dalam vaginannya. Secara perlahan aku melihat penisku masuk ke dalam lubang vaginannya, yang sebelumnya sudah kujilati sampai basah sekali.

"Kontol kamu kecil" kata ibu Anna dengan nada mengejek.

Panas juga hatiku mendengar perkataannya. Memang ketika sedang berada di rumah, ibu Anna seperti orang yang berbeda dengan ibu Anna yang mengajar biologi di sekolah yang biasa berkata-kata dengan sopan dan santun. Disini dia adalah wanita berumur 30 tahun dengan dengan birahi yang tidak kunjung terpuaskan. Sesudah seluruh batang penisku terbenam dalam liang vaginanya barulah aku mencoba menggerakannya perlahan. Yang terjadi selanjutnya adalah ketika baru 3 kali aku memompa penisku di dalam vaginanya aku sudah tidak dapat menahannya lagi.

"Keluarin!" bentak ibu Anna dengan tiba-tiba setelah dia menyadari aku sudah hampir orgasme.

Bersamaan dengan keluarnya penisku, aku mengalami orgasme dahsyat. Spermaku menyembur mengenai tepat di lubang anusnya yang kemudian turun ke masuk ke lubang vaginanya dan menetes-netes ke sprei. Sedangkan aku dengan terengah-engah kenikmatan mengocok-ngocok batang penisku sehingga makin banyak menumpahkan sperma ke lubang anusnya. Melihat keadaanku, secara spontan ibu Anna tertawa terbahak-bahak.

"Baru kali ini saya ketemu cowok yang kontolnya nggak ada gunanya kayak punya kamu itu" katanya mengejekku.

Tentu saja ketika itu harga diriku sebagai lelaki terusik mendengar ejekannya. Dengan menggenggam batang penisku yang masih tegang aku mencoba memasukannya kembali ke lubang vaginanya.

Zlebb..

Dengan mudah batang penisku masuk ke dalam liang vaginanya yang masih basah.

"Apa-apaan kamu! Keluarin kontol kamu itu" tiba-tiba ibu Anna membentakku dengan keras.

Dengan tergesa-gesa aku menarik batang penisku yang baru saja terbenam dalam liang vaginanya. Dan tanpa bisa kutahan kembali aku mengalami ejakulasi. Dengan tubuh gemetar menahan nikmat, aku mengocok penisku dengan cepat sehingga banyak sperma yang tumpah dan jatuh di telapak kakinya. Sementara ibu Anna menatapku dengan pandangan jijik, seakan-akan aku ini adalah gundukan sampah yang menyerupai manusia.

"Heh kontol! Kamu harus membersihkan ini semua" bentaknya.

"Maaf bu" jawabku pelan dengan menundukan kepala karena malu.
Aku segera beranjak turun dari ranjang untuk mengambil tissue.

"Pakai mulut" kata ibu Anna dengan dingin.

Tentu saja aku mau protes dengan perintahnya itu. Yang pertama, itu adalah spermaku dan tentunya aku tidak mau menjilati spermaku sendiri dan yang kedua adalah setelah dua kali ejakulasi tadi aku kini sudah tidak mempunyai nafsu lagi. Tapi ketika kulihat tatapan marah di matanya segera saja hatiku menjadi ciut. Dengan perasaan menyesal aku memandang ke genangan sperma di lubang anus ibu Anna. Belum pernah aku menjilati lubang anus ibu Anna sebelumnya, kini mau tidak mau aku harus melakukannya.

"Cepat!" bentak ibu Anna,
"Dan jangan berhenti sebelum disuruh" sambungnya lagi.

Dengan harga diri yang hancur terinjak-injak aku mulai menjilati daerah sekitar lubang anusnya dengan perlahan.

"Heh kontol! Bersihin yang benar," bentaknya sambil melotot padaku.

Kupejamkan mataku dan setelah mengumpulkan kekuatanku aku mulai menjilati sperma yang tergenang. Dengan segera aku mencium bau khas sperma dan juga rasa asin dari spermaku yang tadi baru kutumpahkan di lubang anusnya.

"Lebih cepet!" kembali ibu Anna memberikan perintah.

Hampir menangis rasanya aku mendapat penghinaan seperti ini. Mau tak mau aku mempercepat gerakan lidahku. Kutempelkan lidahku di lubang anusnya, kemudian kuseret lidahku di permukaan lubang anusnya sehingga sperma di lubang anusnya sudah terangkat semua oleh lidahku, ini kulakukan agar aku tidak berlama-lama dengan pekerjaan yang menyiksaku ini. Namun kerena ibu Anna belum mengatakan apapun maka aku tidak berani menghentikan pekerjaanku. Mau tidak mau aku terus menerus menjilati lubang anusnya, sehingga lubang anusnya yang tadinya basah karena spermaku kini malah menjadi tergenang oleh air liurku.

Pada awalnya aku menyangka akan mencium bau tidak sedap dari lubang anusnya itu, namun setelah beberapa saat aku menyadari bahwa aku tidak mencium dan merasakan apa-apa disana. Selang beberapa lama setelah aku melakukannya aku mulai merasa menikmatinya. Sementara aku masih dengan bersemangat menjilati lubang anusnya, ibu Anna mulai merintih-rintih keenakan.

"Ternyata lidah kamu lebih berguna dari pada kontol kecil kamu itu" katanya padaku dengan seenaknya.

Setelah beberapa saat kemudian, ibu Anna memerintahkanku untuk menciumi lubang anusnya. Sesudah beberapa kali kulakukan barulah dia menyuruhku berhenti. Kemudian menyusul vaginanya yang 'kubersihkan' dan terakhir telapak kakinya. Barulah sesudah itu aku diperbolehkan pulang.

Selang beberapa hari kemudian..

Hari itu hari sabtu. Dengan gelisah aku berkali-kali melihat ke jam dinding, sudah jam 12 lewat 40 menit tapi Pak Rudi (Kepala Sekolah) masih dengan semangatnya menerangkan tentang rencana study lapangan selama tiga hari yang akan diadakan di luar kota bulan depan. Yang membuatku gelisah adalah entah kenapa hari itu tanpa sengaja aku meninggalkan kunci rumah ibu Anna yang dipercayakannya padaku. Rumahku bisa dibilang dekat dengan rumah ibu Anna, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk pulang ke rumahku dan kemudian langsung ke rumah ibu Anna. Yang membuatku khawatir adalah beberapa hari terakhir ini ibu Anna pulang lebih awal. Biasanya hampir jam 2 siang ibu Anna baru datang, namun kini jam satu lewat beberapa menit saja ia sudah datang. Bahkan pernah suatu ketika ibu Anna sudah menunggu di depan rumahnya pada saat aku datang, namun karena memang belum lewat jam 1 siang maka ibu Anna tidak menarik panjang hal itu.

Sementara itu belum ada tanda-tanda Pak Rudi akan selesai bicara sehingga membuatku semakin gerah saja. Selang beberapa menit kemudian aku sudah tidak tahan.

"Pak sudah siang nih," ujarku memberanikan diri.

Untung saja teman-teman kelasku yang lain ikut-ikutan memprotes sehingga dengan terpaksa Pak Rudi menyudahi pembicaraannya lalu membubarkan kelas. Langsung saja aku berlari secepatnya untuk segera pulang ke rumah mengambil kunci baru kemudian ke rumah ibu Anna. Dan benar saja kekhawatiranku, meskipun dengan sekuat tenaga aku berusaha, aku baru bisa sampai pada jam 1 lewat 10 menit. Dan ibu Anna sudah menyambut di depan pintu rumahnya dengan pandangan yang mau membunuhku ketika melihatku datang.

"Kamu tahu apa kesalahan kamu?" kata ibu Anna kepadaku ketika kami sudah berada di dalam rumahnya.

"Tahu bu" jawabku.

"Bagus, berarti kamu juga tahu apa hukuman kamu?" lanjutnya lagi.

Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaanya. Bisa-bisanya aku tidak ingat dengan ucapanya waktu itu. Aku mencoba berpikir mengingat-ingat apa yang waktu itu pernah ibu Anna katakan padaku tentang hukuman apa yang diberikan jika aku datang telat. Semakin lama aku berpikir semakin aku tidak bisa ingat apa-apa, apalagi aku mejadi semakin gugup melihat gerak-gerik ibu Anna yang tampaknya akan marah besar.

"Tahu tidak!?" bentak ibu Anna di depan wajahku.

"Maaf bu" jawabku pasrah.

"Dasar otak kontol" makinya padaku semaunya.

Entah mengapa setelah mendengar makiannya yang pedas, aku langsung teringat dengan perkataanya waktu itu. Ketika itu ibu Anna memberikan surat ancamannya yang disertai dengan foto-foto diriku, siangnya ibu Anna menemuiku dan memberikan kunci rumahnya padaku disertai dengan perintah-perintah dan peringatannya jika aku sampai telat aku akan dihukum seperti pada waktu aku pertama kali datang kerumahnya (baca "My Teacher").

Namun kini sesudah aku mengetahuinya, aku malah tidak berani mengatakannya, karena aku tahu ibu Anna sekarang ini sedang marah besar, dan menurut pendapatku pada saat ini ibu Anna lebih suka aku diam tidak menyela makian-makiannya pada diriku.

"Bagaimana sekarang?" tanyanya padaku setelah puas menyemburkan cacian padaku selama hampir semenit lamanya.

"Ampun Bu saya pantas dihukum" jawabku terpaksa.

"Sekarang kamu pulang dan minta ijin sama orang tua kamu untuk menginap di rumah teman kamu malam ini" katanya padaku setelah terdiam sesaat.

Walaupun aku tahu apa yang akan terjadi padaku, namun tetap saja aku tidak berani protes, bahkan untuk menatap matanya saja aku tidak berani.

"Baik bu" jawabku lirih.

"Kamu harus kembali kesini dalam sejam" katanya padaku,
"Awas kamu bisa dihukum lebih parah kalau lalai lagi" sambungnya.

Setelah itu, dengan tidak membuang waktu aku segera beranjak untuk pergi pulang. Sesampainya dirumah aku segera berganti pakaian dan tidak lupa membawa satu setel pakaian yang kumasukan ke dalam tas yang biasanya kugunakan untuk bermain bola. Untung saja ibuku tidak terlalu susah memberikan ijin padaku untuk pergi menginap hari itu. Dengan segera aku bergegas untuk langsung pergi. Walaupun sebenarnya aku tahu pada waktu itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu sebelum kembali ke rumah ibu Anna, Namun kali itu aku tidak berani ambil resiko untuk ayal-ayalan. Dalam waktu setengah jam, aku sudah kembali ke rumah ibu Anna. Disana aku melihat ibu Anna sudah menungguku.

"Apa itu?" tanya ibu Anna sambil melihat ke tas yang kubawa.

"Baju bu" jawabku jujur.

"Kamu tidak perlu baju, taruh disana" katanya dengan dingin sambil menunjuk ke sofa.

Dengan segera aku melaksanakan perintahnya. Agak kecut juga hatiku mendengar perkataannya, aku yakin tidak lama lagi ibu Anna akan menyuruhku membuka pakaian yang kini kukenakan.

"Mulai sekarang kamu dilarang berbicara apapun juga, kecuali atas seijin saya, mengerti?" katanya padaku dengan dingin. Aku mengangguk mengiyakan.

"Bagus, sekarang ikut ibu" perintahnya lagi padaku.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Ibu Anna belum mengganti pakaiannya, masih sama seperti yang biasa dia kenakan jika mengajar. Setelan jas dan rok formal berwarna hitam serta sepatu hak tinggi, sedangkan aku kini mengenakan kaos santai dan celana 3/4. Di tangannya, ibu Anna membawa sebuah benda yang tidak terlalu kuperhatikan, namun sepertinya aku dapat memastikan bahwa itu akan dipergunakan padaku.

Aku mengikuti langkahnya menuju ke bagian belakang rumah. Benar saja perkiraanku, ibu Anna membawaku ke ruang tempat menjemur pakaiannya.

"Buka semua pakaian kamu!" katanya padaku setelah kami berada disana.

Dengan cepat aku meloloskan semua pakaianku. Meskipun di sana adalah ruang yang terbuka pada bagian atasnya, namun tidak memungkinkan bagi orang di luar untuk dapat melihat kegiatan kami didalam, dikarenakan tembok disekeliling yang tingginya bersambung dengan tingat dua bangunan itu. Aku tidak mengerti kenapa sampai sekarang aku masih saja tidak terbiasa berada dalam keadaan bugil dihadapan ibu Anna, meskipun hampir setiap hari aku mengalaminya selama sebulan belakangan ini. Dan entah kenapa setiap aku berada dalam keadaan seperti itu, penisku langsung mulai menengang ketika ibu Anna menatapku dengan perasaan jijik, tidak terkecuali saat ini.

"Saya lihat kamu sudah tidak sabar" katanya padaku sambil tangannya mengocok pelan penisku yang sudah tegang.

"Benar begitu hah?" tanyanya padaku sambil masih terus mengocok penisku.

"I.. Iya bu" jawabku.

"Diam!!" bentaknya sambil tangannya yang tadi digunakannya untuk mengocok penisku menampar pipi kiriku dengan keras. Tamparannya lebih menyakiti harga diriku di banding kulitku.

"Kamu akan dihukum oleh karena itu" katanya ibu Anna kemudian.

Selanjutnya ibu Anna memasangkan sejenis kalung yang terbuat dari kulit (collar) yang tersambung dengan rantai, di leherku, kemudian ujung rantainya di kaitkan ke tiang besi yang terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Panjang rantainya sendiri sedikit kurang dari 2 meter. Setelah ibu Anna selesai memasangnya, ibu Anna kemudian mengambil sebuah benda yang berwarna hitam yang tadi dibawanya. Benda itu teryata sebuah cambuk yang panjang talinya sekitar 1,5 meter.

"Ctarr".

Tanpa diduga-duga ibu Anna melecutkan cambuk itu. Secara refleks aku melompat kaget, namun sesudahnya aku sadar bahwa ibu Anna hanya memukul udara.

"Lari!" perintah ibu Anna.

Dengan segera aku mulai berlari. Ruang itu luasnya hanya 4x4 meter, sehingga tidak memberikan banyak ruang bagiku untuk berlari, di tambah dengan ikatan di leherku maka aku hanya berlari berputar-putar di sekitar tiang itu.

Ctarr.. kali ini benar-benar sebuah cambukan mendarat tepat di pantat kananku.

"Auu!" jeritku sambil melompat kesakitan.

"Jangan bicara!" bentaknya padaku sambil mendaratkan sebuah pukulan lagi di punggungku. Kugigit bibirku untuk menahan sakitnya.

"Lebih cepat!" sambungnya memberi perintah. Mendengar perintahnya aku langsung berlari secepat-cepatnya mengitari tiang itu.

Aku sudah terbiasa dengan olah raga sepakbola, karena itu bisa dibilang staminaku sedikit diatas orang-orang yang lain. Setelah sepuluh menit barulah aku mulai merasa kehabisan tenaga. Sebenarnya bisa dibilang keadaanku pada saat itu benar-benar konyol, dibawah terik matahari, aku berlari sprint berputar-putar disekitar tiang dengan keadaan bugil. Sedangkan ibu Anna tidak segan-segan mendaratkan cambuknya di tubuhku jika aku mulai memperlambat gerakanku. Sudah beberapa cambukan yang mendarat di tubuhku, diantaranya tiga di punggung, dua di pantatku dan sekali mengenai tanganku. Setiap pukulannya yang mendarat di tubuhku memberiku semangat untuk kembali mempercepat lariku. Dan boleh percaya boleh tidak pukulan cambuk yang mendarat di tubuhku memberiku tenaga lebih dari yang diberikan minuman energi merek apapun juga. Dengan peluh yang sudah mengucur dari seluruh tubuhku aku masih terus berlari hingga akhirnya aku hampir mencapai batas ketahanan tubuhku.

"Stop" kata ibu Anna tiba-tiba.

Mendengar perkataanya langsung saja aku berhenti dan langsung jatuh berlutut dengan nafas teputus-putus. Aku sangat yakin jika diteruskan beberapa putaran lagi aku pasti akan pingsan. Karena pada saat itu aku sudah merasakan intensitas cahaya dilingkungan itu bertambah besar, suatu gejala ketika tubuh sudah mencapai batas ketahanan.

Selang beberapa saat aku mulai dapat mengatur nafasku. Baru setelah itu aku mulai dapat merasakan perih sesungguhnya akibat cambukkan yang tadi mengenaiku. Dengan perlahan aku mencoba untuk meraba bagian-bagian tubuhku yang perih. Garis-garis merah bekas pukulan terlihat jelas di paha dan tanganku. Sedangkan wajah ibu Anna menunjukkan ekspresi kepuasan melihat penderitaanku. Setelah membiarkanku untuk istirahat sejenak, kemudian ibu Anna memulai permainan lainnya.

Setelah melepaskan rantai dari tiang besi itu, ibu Anna kemudian menyentaknya, memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. Dengan patuh akupun kemudian merangkak mengikuti langkahnya. Ibu Anna sudah pernah memberi perintah jika aku mengenakan collar maka aku tidak diperbolehkan berjalan berdiri, melainkan merangkak seperti anjing.

Ibu Anna ternyata akan membawaku ke lantai dua. Aku tidak pernah mengetahui ada apa di sana, karena ibu Anna tidak pernah membiarkan pintu yang terdapat di ujung tangga tak terkunci. Dengan tangan kiri memegang rantai yang terhubung dengan collar di leherku, ibu Anna membuka pintu itu dengan tangan kanannya. Aku sebelumnya sempat menduga bahwa lantai dua itu dipergunakan sebagai gudang, namun dugaanku meleset sedikit.

Ruangan itu besarnya sekitar 5X10 meter, seluruhnya tertutup karpet tebal berwarna biru dan di ruangan itu terdapat beberapa cermin persegi yang berukuran besar sedangkan temboknya bercat hitam. Kesan pertamaku setelah memasuki ruangan ini adalah panas dan pengap, entah apa penyebabnya. Bisa dibilang tidak terdapat apa-apa diruangan itu, hanya beberapa alat yang tidak kuketahui kegunaannya yang terletak di salah satu sudut ruangan itu.

Sementara aku masih memperhatikan ruangan itu, secara tiba-tiba ibu Anna duduk di punggungku, seperti layaknya menunggang kuda. Merasakan ada beban di punggungku, secara tidak sadar aku menengok kebelakang, dan kulihat ibu Anna hanya tinggal mengenakan BH dan celana dalam berwarna hitam. Aku sudah cukup sering melihat ibu Anna dalam keadaan bugil, sehingga aku merasa biasa saja melihatnya dalam keadaan demikian.

"Plak!"

Tahu-tahu ibu Anna memukul keras pantatku dengan menggunakan telapak tangannya.

"Jalan!" katanya dingin.

Dengan terpaksa akupun menuruti perintahnya. Dengan tubuh ibu Anna di atas pundakku, aku mulai dengan perlahan merangkak. Baru beberapa langkah saja aku sudah merasa sakit-sakit di lutut, pinggul dan punggungku, untung saja lantainya di lapisi karpet, jika tidak pastinya lututku sudah lecet-lecet. Bisa dibilang saat itu keadaanku sudah tidak mempunyai tenaga setelah sebelumnya di siksanya, namun ibu Anna tidak mau tahu dengan keadaanku.

Sudah beberapa kali pantatku kena pukulannya yang kali ini tampaknya menggunakan sepatu hak tingginya yang entah kapan dia melepasnya. Sebenarnya pada saat itu aku lebih memilih ibu Anna memukuli pantatku dari pada terus merangkak, tapi tentu saja aku takut sewaktu-waktu amarahnya bisa meledak jika aku tidak menurutinya. Sesudah dua kali memutari ruangan itu aku sudah benar-benar tidak sanggup. Secara tiba-tiba tubuhku ambruk tak dapat menahan beban di punggungku. Sedangkan ibu Anna dengan cekatan segera berdiri sesudah sebelumnya ikut terjatuh bersamaku.

Dengan marah ibu Anna menyuruhku untuk bangun sambil kakinya menendang pahaku, sedangkan tubuhku terus saja tergolek seperti mayat. Jangankan untuk kembali bangun, untuk menggerakkan tanganku saja rasanya sulit, dan bernafas saja sepertinya sudah menggunakan semua tenagaku yang tersisa. Sedang ibu Anna yang masih penasaran, kemudian mulai menggunakan cambuknya untuk memukuliku. Tubuhku yang terkena pukulannya berkelojotan seperti cacing, namun tetap saja aku tidak mampu untuk berdiri. Setelah meneruskan beberapa kali, ibu Anna kemudian menyerah juga, ia kemudian meniggalkanku sendirian di ruang itu. Setelah ibu Anna pergi dari sana langsung saja aku tertidur atau pingsan, aku tidak tahu.

Selang beberapa waktu kemudian aku terbangun. Keadaanku sekarang tidak terlalu berbeda dengan waktu sebelum tertidur tadi, aku masih telungkup di karpet, hanya saja kali ini tanganku dan kakiku terikat dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan ibu Anna yang melakukannya. Secara perlahan perih-perih di tubuhku mulai terasa kembali. Keringat masih terus keluar dengan deras dari tubuhku akibat suhu ruangan yang panas, sedangkan mulut dan tenggorokanku terasa kering sekali. Belum pernah aku merasa sehaus itu. Selang setengah jam kemudian barulah aku mendengar suara seseorang yang menaiki tangga, lalu kemudian membuka pintu yang terkunci.

Ibu Anna melangkah mendekatiku dengan santai. Pada saat itu ia sudah tidak mengenakan pakaian sama sekali. Dengan jelas aku melihat tubuhnya yang juga di banjiri keringat seperti diriku sekarang ini.

"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya padaku setelah dia berada disampingku.
"Saya.. Haus.. Bu" kataku padanya terbata-bata sambil memandang lemah ibu Anna disebelahku.

Dia tidak menjawabnya, melainkan dengan santai dia meletakkan kaki kanannya di atas kepalaku. Melihat responnya aku tidak berani mengulangi permintaanku lagi.

"Seberapa haus?" tanyanya tiba-tiba padaku.

"Sangat haus bu" kataku memelas.

"Apa yang kamu mau?" tanyanya lagi padaku.

"Minum.. S.. Saya mau minum" jawabku lagi.

"Mau minum apa?" kembali ibu Anna memberikan pertanyaan yang menjengkelkan.

"Apa saja.. Terserah" jawabku dengan lemas, karena aku merasa pada saat ibu Anna tidak akan mengabulkan permintaanku.

"Apa saja boleh?" tanyanya lagi padaku.

"Ya Bu apa aja" jawabku dengan cepat seakan mendapat harapan baru.

"Baik kamu yang minta" kata ibu Anna kemudian.

Setelah ibu Anna berkata demikian, ia lalu membalik tubuhku, lalu berdiri tepat di atas wajahku. Dapat kulihat pemandangan yang pada saat biasa kuanggap sebagai salah satu pemandangan terindah di dunia ini, tapi tidak sekarang, yang kupikirkan saat ini hanyalah air. Secara perlahan ibu Anna berjongkok dan memposisikan vaginanya tepat di atas mulutku. Dalam sedetik kemudian aku sudah tahu apa yang mau di lakukannya. Dengan tangan kirinya, ibu Anna menekan pipiku sehingga membuat mulutku membuka paksa.

Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya ibu Anna mulai menyemburkan air kencingnya yang berwarna kuning kental itu tepat ke mulutku yang terbuka lebar. Walaupun sebelumnya aku sudah pernah mendapat perlakuan serupa (kembali baca "my teacher), namun pada saat itu kuanggap hal itu adalah hal yang tidak menyenangkan bagiku. Secara wajar aku mencoba menggerakkan kepalaku menolak hal itu, namun tidak bisa karena di tahan oleh tangan kiri ibu Anna. Mungkin pada keadaan biasa aku masih bisa mencoba untuk meronta, tapi tidak sekarang pada saat hampir semua tenagaku habis tersedot karena perlakuannya padaku tadi.

Setelah air kencing mulai menggenangi mulutku, aku dapat merasakan rasa asin di lidahku dan bau pesing yang menusuk di hidungku. Sampai pada saat itu aku masih berusaha untuk tidak menelannya, namun mungkin karena aku sudah sangat kehausan, tanpa sadar aku menelan juga air kencing yang menggenangi mulutku. Tiba-tiba saja aku merasakan bahwa rasanya tidak seburuk yang kuperkirakan, asin dan sedikit pahit, cukup enak buatku yang sudah sangat kehausan. Dengan cepat aku kembali meneguk cairan itu, kemudian diikuti tergukan-tegukan lainnya, rasa jijik sudah tidak kuhiraukan lagi, malah kemudian dengan rakus aku terus menelan air kencing yang masih terus menerus di tumpahkan dari vagina ibu Anna.

Secara sekilas aku dapat melihat wajah ibu Anna yang tersenyum melihat kelakuanku itu. Air kencing yang tadinya menggenangi mulutku sekarang sudah kering kutelan, sedangkan ibu Anna masih terus mengeluarkan "minumannya", seakan tidak ada habisnya. Tangan kirinya sudah tidak di gunakan untuk menekan pipiku, pada saat itu aku sudah membuka mulutku lebar-lebar dengan senang hati menerima pemberiannya. Kini kedua tangannya membuka kedua bibir vaginannya dengan lebar untuk memudahkan jalan semburan air kencingnya.

Selang beberapa detik kemudian semburannya mulai melemah dan akhirnya benar-benar berhenti.

"Bersihin" kata ibu Anna padaku sambil tangannya masih membuka lebar kedua belah bibir vaginanya.

Dengan patuh aku segera melakukan perintahnya, sambil sedikit mengangkat kepalaku, kujilati bagian dalam vagina serta klitorisnya dengan bersemangat, seolah-olah tenagaku kembali setelah meminum air kencingnya.

"Ok stop" kata ibu Anna selang beberapa saat kemudian, dan dengan segera akupun menghentikan pekerjaanku.

"Enak ya?" tanya ibu Anna kemudian padaku sambil tetap berjongkok di atas wajahku.

"Iya bu.. Kalau boleh saya mau minta lagi" jawabku tanpa malu-malu, karena di samping masih merasa haus, ternyata aku juga mulai menikmatinya.

"Kalau begitu kamu harus memohon" katanya lagi padaku.

"Saya mohon bu.. Saya sangat suka air kencing ibu" sahutku dengan cepat, seakan-akan kata-kata itu meluncur begitu saja dari kepalaku.

"Bagus, karena kamu yang minta, mulai sekarang dirumah ini, cuma itu minuman kamu" katanya.

Dan aku benar-benar sudah gila karena justru merasa senang mendengar perkataanya itu. Setelah berkata demikian, ibu Anna kemudian meludah tepat ke mulutku yang terbuka. Dengan senang hati aku kemudian menelannya.

"Sekarang kamu istirahat, permainan baru akan dimulai nanti malam" katanya padaku sambil berlalu meninggalkanku setelah sebelumnya membuka ikatan pada tangan dan kakiku.

Agak terkejut juga aku mendengar perkataannya, apa yang sudah kualami ini hanya sekedar pemanasan saja? Pikirku dalam hati. Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu yang dikunci dari luar. Aku tidak tahu jam berapa sekarang ini, namun mendengar perkataannya aku merasa saat ini sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Dengan perut kembung aku kemudian kembali tertidur. Aku terbangun setelah ada seseorang yang menendang testisku dengan perlahan.

"Mau tidur sampai kapan hah!" bentaknya garang.

Meskipun agak mendongkol dengan caranya membangunkanku, mau tidak mau aku membuka mataku dan beranjak berdiri. Belum pernah kulihat ibu Anna menggunakan pakaian seperti itu sebelumnya. Ia mengenakan BH berwarna hitam yang tampaknya terbuat dari kulit serupa dengan celana dalamnya yang sangat mini. Di tangannya ia menggenggam cambuk yang tadi siang sudah dipergunakannya, sedang rambutnya diikat kencang kebelakang menambah "kegarangannya". Yang paling menonjol adalah pada bagian depan celana dalamnya terdapat penis buatan yang sepertinya terbuat dari bahan plastik. Meskipun agak geli aku melihat hal itu, namun aku hanya terdiam saja menunduk, menunggu perkataannya.

Dengan memberi isyarat, ibu Anna menyuruhku mengikutinya. Ia membawaku ke salah satu sudut ruangan dimana terdapat benda yang terbuat dari kayu berbentuk huruf "X" yang pada saat itu tidak kuketahui apa gunanya. Dengan tidak mengucapkan sepatah kata, ibu Anna mengikatkan kedua tangan dan kakiku ke tali yang terdapat dimasing-masing ujung benda itu sehingga tubuhku juga membentuk huruf "X", terikat di benda itu.

Setelah itu, tanpa ba bi Bu lagi ibu Anna mendaratkan sebuah pukulan dari cambuknya yang mengenai punggungku. Aku menjerit keras dengan spontan begitu merasakan perih pada punggungku.

"Silahkan kamu teriak, ruang ini kedap suara" kata ibu Anna sambil tak henti-hentinya mendaratkan cambuknya di tubuhku.

Aku tidak berani menoleh, karena salah-salah wajahku yang terkena cambukannya, maka dari itu sebisanya saja aku meronta-ronta, namun karena kedua tangan dan kakiku terikat kuat sepertinya usahaku hanya sia-sia belaka, malahan mungkin itu membuatnya semakin gusar saja. Sesudah itu aku kemudian memutuskan untuk mencoba cara lain.

"Auu sakit bu! ampunn.. Jangan siksa saya lagi.. Aaahh" jeritku memohon padanya disela-sela erangan kesakitan terkena pukulannya.

Namun seakan tidak mendengar, ibu Anna masih tetap saja melakukan kegiatannya. Baru setelah kira-kira 5 atau 6 kali lagi cambuk itu mengoyak kulitku baru dia menghentikannya.

"Itu hukuman atas kesalahan kamu tadi, seharusnya kamu cuma menerima 10 pukulan, tapi karena kamu tadi bicara jadi di tambah 5 pukulan" kata ibu Anna dengan sedikit terengah-engah akibat pekerjaannya. Sedangkan diriku sudah hampir pingsan menahan sakit. Rasanya seluruh darah di tubuhku berkumpul di kepala dan telingaku tak henti-hentinya berdengung.

"Mulai sekarang jika kamu membantah perintah, kamu langsung dapat 20 pukulan mengerti?" lanjutnya lagi yang diikuti anggukan lemah kepalaku untuk mengiyakan.
"Kamu harus mengerti kalau kamu itu adalah budak saya, dan kamu tidak perlu membantah perlakuan saya pada kamu" ibu Anna berkata sambil membuka ikatan pada kaki dan tanganku.

Dengan isyarat tangan, ibu Anna memerintahkanku untuk mengikutinya. Dengan berjalan perlahan, aku mengikuti langkahnya di belakang. Setelah menuruni tangga, ibu Anna membawaku ke meja makan., disana sudah tersedia sepiring nasi lengkap dengan sayurnya. Aku yang memang sudah sangat lapar menjadi tambah lapar saja melihat makanan di depanku.

"Waktu kamu 5 menit" kata ibu Anna lalu begitu saja meninggalkanku.

Aku tidak membuang kesempatan itu, dengan segera aku mulai melahap makanan itu, yang terasa enak sekali karena sudah sedemikian laparnya diriku. Tak sampai 5 menit makanan itu sudah ludas kumakan, dalam hatiku aku menyesal dengan perkataanku sebelumnya, kini ibu Anna benar-benar membuktikan perkataanya, aku sama sekali tidak diberikan air minum. Tak lama kemudian ibu Anna datang.

Ibu Anna kemudian membawaku masuk ke dalam kamar tidurnya. Secara sekilas aku sempat melirik ke jam dinding yang terdapat di ruangan itu, yang ternyata baru menunjukan pukul 8 malam, padahal sebelumnya kupikir saat ini sudah hampir tengah malam. Dengan setengah menyeret, ibu Anna kemudian membawaku ke dalam kamar mandi yang terdapat di dalam ruangan itu. Kemudian aku perintahkan untuk duduk di kloset.

Setelah itu, ibu Anna langsung menyalakan shower dan menyiram tubuhku. Hampir saja aku menjerit jika tidak sempat kutahan. Tubuhku menggeliat menahan perih ketika air mulai mengenai kulitku yang lecet-lecet. Kemudian dengan tidak mengatakan apa-apa, ibu Anna memberikan sebatang sabun mandi padaku. Jika saja aku tidak takut pada hukuman, tentunya pada saat itu aku enggan untuk menggunakan sabun mandi, karena tentunya akan perih jika mengenai bekas cambukannya di tubuhku.

Dengan menggigit bibir menahan sakit, aku dengan cepat menyabuni tubuhku, terutama bagian dada yang dada yang kulihat tidak terdapat bekas pukulan disana. Secara tiba-tiba, ibu Anna kemudian merampas sabun itu dari tanganku, kemudian dengan kedua tangannya, ia menyabuni bagian rambut kemaluanku. Aku terkejut dengan perbuatannya yang tiba-tiba itu, dengan mata melotot aku melihat bagaimana dengan lembut ibu Anna "mengeramasi" rambut kemaluanku, hingga tanpa dapat kutahan penisku mulai bereaksi terhadap rangsangan tersebut. Sampai seluruhnya tertutup busa barulah ibu Anna menghentikan pekerjaannya, kemudian dia membuka sebuah lemari kaca kecil yang tertempel di tembok kamar mandi itu. Tangannya kemudian mencari-cari sesuatu dalam lemari itu, dan tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk menemukan benda yang dicarinya.

Benda itu ternyata adalah pisau cukur. Begitu melihatnya aku sudah bisa menebak apa yang akan ibu Anna perbuat padaku nantinya. Dan benar saja, dalam beberapa detik kemudian, tangan-tangan mungilnya dengan cekatan mencukur rambut kemaluanku (yang pada saat itu sudah tumbuh lebat). Penisku yang tadinya sudah setengah tegang, kini langsung menciut setelah merasakan tajamnya pisau cukur itu, sedang jantungku berdebar-debar menyaksikan penggundulan hutan itu. Tak memerlukan waktu lebih dari 2 menit buat ibu Anna untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Setelah di basuh dengan air untuk membersihkan sisa-sisa sabun, aku dapat melihat penisku yang sekarang tampak seperti penis milik seorang bocah, bersih tanpa rambut selembarpun. Dengan lembut ibu Anna kemudian meraba-raba kulit yang sebelumnya masih di tumbuhi rambut itu, wajahnya menunjukan ekspresi kepuasan atas hasil kerjanya. Dan entah bagaimana mengungkapkannya, selama sebulan ini, aku sering berada dalam keadaan bugil di depan ibu Anna. Kini entah bagaimana, aku merasa keadaanku lebih telanjang dari sebelumnya. Ini adalah hal yang harus kalian alami sendiri barulah tahu bagaimana rasanya.

Ibu Anna tidak lantas berhenti sampai disana, berikutnya adalah giliran kedua ketiakku yang dicukurnya hingga bersih. Kini boleh dibilang selain wajahku, di tubuhku tidak terdapat rambut lain. Setelah itu barulah ibu Anna menggunakan handuk untuk mengeringkan tubuhku. Tubuhku yang tadinya lengket karena keringat yang mengering, kini kembali menjadi segar setelah mandi.

Setelah itu ibu Anna memerintahkanku untuk berdiam dalam posisi merangkak di lantai kamar mandi, agak sedikit kesulitan aku melakukannya karena kedua tanganku yang terikat. Kemudian aku merasa ada sesuatu yang ditempelkan di lubang anusku, ketika aku menoleh untuk menegok, aku melihat ibu Anna memegang selang air yang ujungnya ditempelkan tepat di lubang anusku. Aku agak panik dengan apa yang akan dilakukannya, tanpa terasa pinggulku bergerak untuk menghindari selang itu.

"Diam! Kalau nggak mau 20 kali cambukan, jangan bergerak sedikitpun" bentaknya melihat gelagatku.

Bagaikan tersihir, tubuhku langsung diam mematung. Setelah itu barulah ibu Anna memutar keran air yang terhubung ke selang itu. Detik berikutnya aku langsung merasakan air dingin menerobos lubang anusku. Aku tidak merasakan sakit, hanya saja perasaan tidak nyaman serta perasaan takut dengan hal yang baru pertama kalinya kualami ini, pada saat itu aku tidak tahu bahwa hal itu (enema) adalah hal biasa dalam permainan seks bdsm. Perutku yang sebelumnya sudah menggembung karena kekenyangan, kini mendapat tekanan tambahan akibat air didalam usus besarku. Tanpa dapat kutahan tubuhku gemetar menahan perasaan kembung seakan perutku akan meledak, juga dingin yang terasa didalam perutku.

"Tahan! Kalau sampai tumpah sedikit saja, mulut kamu yang bertanggung jawab" ancamnya padaku setelah melihat tubuhku yang gemetaran. Untung saja tak lama sesudah berkata demikian, ibu Anna segera mematikan kerannya.

"Saya beri kamu lima menit untuk urusan kamu" kata ibu Anna tiba-tiba, dan langsung saja ia meninggalkanku sendirian di dalam kamar mandi itu.

Tanpa membuang waktu aku berdiri, membuka penutup kloset dan langsung duduk. Membutuhkan waktu cukup lama untuk mengeluarkan seluruh isi usus besarku itu. Semenit setelah aku selesai melakukannya barulah ibu Anna kembali ke dalam kamar mandi itu. Begitu masuk, ia langsung menghampiriku yang masih terduduk diam. Tangannya mengocok perlahan penisku yang sudah kembali ke bentuk asalnya, dan wow aku merasa begitu sensitif karena sentuhan perlahan saja sudah memberikan reasksi pada penisku. Setelah sudah benar-benar ereksi, ibu Anna dengan tiba-tiba menghentikan pekerjaannya.

"Apa kamu kira penis kamu itu ada gunanya?" kata ibu Anna padaku dengan sinis.

Aku hanya terdiam saja mendengar perkataannya. Seperti biasa, ibu Anna tidak akan memberikanku kepuasan pikirku.

"Sekarang kamu oral penis ini" kata ibu Anna sambil menunjuk ke penis buatan yang tertempel di celana dalamnya itu.

Dengan terkejut aku menatap wajahnya, seperti ingin memastikan apa yang barusan kudengar.

"Terserah kamu mau melakukannya apa tidak, asal kamu tahu saja, kalau penis ini masuk ke anus kamu dengan keadaan kering seperti ini, anus kamu tidak sobek saja sudah bagus" kata ibu Anna membalas tatapan mataku.

Mendengar hal itu seperti orang linglung, aku menatap matanya dengan mulut menganga, tidak percaya dengan hal yang barusan kudengar. Dengan hati menclos aku kemudian melihat ke arah "penis" ibu Anna itu. Penis itu benar-benar mirip sekali dengan penis asli, lengkap dengan topi baja serta urat-urat yang menonjol di sekelilingnya sedangkan ukurannya jauh melebihi penisku yang pada saat itu masih ereksi. Ukurannya sama saja dengan penis yang terdapat dalam film-film porno keluaran vivid itu.

Yang menjadi masalah adalah aku yakin kalau diriku ini bukan gay dan hal ini menurutku menjijikan. Aku menelan ludah ketakutan membayangkan bagaimana jadinya jika monster penis itu benar-benar masuk ke anusku. Sementara itu ibu Anna sepertinya sudah tidak sabar ingin melakukannya, dia memberikan perintah agar aku berbalik. Mendengar perkataannya, dengan terburu-buru aku segera memasukan penis itu ke dalam mulutku. Ini toh penis buatan pikirku pada saat itu. Dengan cepat aku mengulum penis itu sehingga hampir saja aku tersedak. Pada saat itu aku tidak melihat wajah ibu Anna, tapi dapat kupastikan wajahnya pasti tersenyum sinis melihat aku melakukannya.

Tidak ada hal yang membuatku meragukan ucapan ibu Anna untuk memasukan penis itu ke dalam anusku, karena itu sebisanya aku membasahi seluruh permukaan penis itu dengan ludah agar dapat berfungsi sebagai pelumas saat nanti memasuki lubang anusku. Selang semenit kemudian aku merasakan ada sesuatu yang salah dari tubuhku, entah bagaimana aku mulai menikmati pekerjaanku itu. Untung saja penisku memang sebelumnya sudah ereksi, karena jika tidak, ibu Anna pasti melihat penis kecil yang menegang ketika pemiliknya sedang mengoral penis buatan yang ukurannya hampir 2 kali lipatnya.

"Sudah" kata ibu Anna dengan perlahan.

Aku pura-pura tidak mendengarkan perkataannya yang memang pelan sekali itu, disamping aku merasa masih belum cukup aman jika penis itu masuk ke lubang anusku, aku juga tanpa sadar menikmati perbuatanku.

"Cukup" katanya sekali lagi, kali ini aku mendengar dengan jelas perkataannya.

Aku segera menghentikan pekerjaanku. Dengan segera aku diperintahkan untuk berbalik. Kini aku membelakangi ibu Anna, tubuhku membentuk sudut 90 derajat dengan kedua tangan menumpu pada plastik penutup kloset. Aku memejamkan mataku menanti dengan was-was. Sedetik kemudian aku merasakan sakit sekali ketika kepala penis ibu Anna mencoba memasuki lubang anusku, dengan reflek lubang anusku menutup sehingga kepala penis yang tadinya sudah masuk setengah keluar lagi, aku menggigit bibirku menahan perih yang ditinggalkannya.

"Kamu harus tenang kalau tidak mau terluka" kata ibu Anna kepadaku.

Enak baginya bicara demikian karena ia tidak merasakannya. Namun kucoba turuti sarannya, aku mengambil nafas panjang untuk menenangkan jantungku yang berdegub kencang. Kembali aku merasakan perih ketika ada benda tumpul yang ingin menerobos lubang anusku. Segera aku mendapat perasaan seperti ingin buang air besar. Kali ini kedua tangan ibu Anna membantu merenggangkan kedua belah pantatku sehingga lubang anusku terbuka lebih lebar. Setelah itu dengan cepat kepala penisnya masuk.

Aku menjerit tertahan dan tanpa sengaja lubang anusku kembali berkontraksi, namun kali ini penis itu tidak keluar dari lubang anusku karena tangan ibu Anna menahannya, malahan akulah yang merasakan sakit di dinding anusku karena hal itu. Setelah itu dengan cepat penis itu menerobos masuk makin dalam. Tubuhku gemetar menahan perih yang seakan menjalar ke seluruh tubuhku. Dengan sebisanya aku menahan untuk tidak menjerit, sedangkan air mata sudah mengambang di kedua mataku.

Kini kedua telapak tangan ibu Anna digunakan untuk memukul-mukul pantatku dengan setengah kekuatannya sambil tak henti-hentinya dia tertawa sinis melihat penderitaanku. Pukulan di pantatku memang bisa dibilang tidak ada artinya di banding sakit karena penis itu, namun aku takut jika nantinya bisa-bisa penis itu kembali keluar dari lubang anusku karena terganggu oleh pukulan-pukulan itu, dan benar saja sesaat kemudian tanpa dapat kutahan, dinding anusku kembali berkontraksi, aku sudah bersiap-siap menahan perih akibat itu.

Tapi ternyata dugaanku salah, penis itu masih tenang-tenang saja di dalam, nampaknya sudah hampir semua bagian penis itu yang masuk didalam, agak lega juga hatiku setelah merasa demikian. Ketika aku menengok untuk memastikannya barulah aku terkejut setengah mati setelah mendapati bahwa baru sekitar setengah bagian penis itu saja yang sudah memasuki lubang anusku.

Dapat kulihat senyum puas ibu Anna melihat wajah menderitaku. Dalam sekejab aku merasakan sudah tidak mempunyai harga diri lagi setelah ibu Anna memperlakukanku demikian, namun dalam hati aku memohon agar ibu Anna tidak mempunyai pikiran untuk memasukan seluruh bagian penis itu. Aku kemudian melihat tangan ibu Anna mengambil sebuah botol baby oil dan menuangkan isinya ke penisnya serta ke daerah sekitar lubang anusku. Pada saat itu aku sangat jengkel sekali, ingin rasanya aku berteriak "kenapa nggak dari tadi aja!" namun kubatalkan karena takut nanti malah berakibat fatal pada diriku.

Sesaat kemudian aku merasakan ibu Anna mulai kembali mendorong penisnya yang kini sudah dilumuri baby oil. Aku dapat merasakan bantuan minyak itu dalam mengurasi sakit akibat gesekan, meskipun masih terasa sedikit sakit, namun kini sudah jauh berkurang. Kini yang kurasakan adalah betapa penis itu memenuhi ruang di rectum (bagian terluar dari usus besar) ku. Sedang tadi ketika penis itu masuk baru setengah saja aku sudah merasa begitu "penuh", apalagi sekarang ketika sudah hampir seluruhnya masuk. Seakan-akan ada sesuatu yang ingin keluar dari kerongkonganku, walaupun aku tahu itu hanya perasaanku saja.

Tak lama kemudian aku dapat merasakan paha ibu Anna yang menyentuh pahaku, tanda sudah masuknya seluruh bagian penis itu. Pada saat itu mulutku menganga lebar sedang nafasku teregah-engah seperti orang yang mau melahirkan, bahkan tubuhku sempat gemetar tak terkendali. Setelah aku mengatur nafas sejenak barulah aku mulai kembali tenang. Sesaat kemudian, ibu Anna mulai menggerakkan maju-mundur penis itu dengan perlahan. Rasa malu dan takut bercampur aduk di hatiku pada saat itu, malu karena aku serasa diperkosa oleh ibu Anna dan takut jika penis besar itu akan melukaiku dengan parah.

Dengan perlahan namun pasti, ibu Anna mulai menaikan temponya, sesekali dia berhenti untuk kembali melumuri penis itu dengan baby oil sampai penis itu benar-benar bisa sliding dengan mudah. Dan kembali aku dikhianati oleh tubuhku sendiri. Meski dengan susah payah aku mencoba menahannya, namun tetap saja aku tidak berhasil, penisku dengan perlahan mulai ereksi, apalagi kemudian ibu Anna kembali mempercepat pompaannya yang memang terasa nikmat sekali buatku. Tanpa dapat kulawan, penisku kembali full ereksi, bahkan jika tidak kutahan-tahan, ingin sekali rasanya aku mengocok penisku.

Kini ibu Anna merubah gayanya, ia menarik penisnya dengan perlahan sampai hampir keluar, kemudian memasukannya kembali dengan cepat sampai setengahnya dan demikian seterusnya. Sensasi yang kurasakan sungguh dahsyat, seandainya aku mengocok penisku pastilah aku sudah ejakulasi. Aku sendiri menjadi heran dan dalam hati aku bertanya-tanya apakah aku ini memang seorang gay? Tiba-tiba saja sebuah pikiran terlintas dalam benakku. Aku kemudian berpura-pura untuk kesakitan setiap kali ibu Anna menyodok penisnya, hal ini kulakukan karena aku sungguh malu jika ibu Anna mengetahui aku justru menikmati perbuatannya padaku. Entah karena aktingku yang buruk atau memang ibu Anna yang tidak mudah ditipu.

"Jangan pura-pura kamu" kata ibu Anna padaku.

Setelah itu dengan tiba-tiba ia menyodok penisnya sampai pahanya beradu dengan pahaku sehingga menimbukan bunyi "plok".

"Aaahh" jeritku lirih. Itu jelas-jelas jeritan kenikmatan yang tanpa sadar kukeluarkan.
"Dasar nggak tahu malu" kata ibu Anna lagi padaku.

Jika saja pada saat itu aku menoleh kebelakang, ibu Anna akan melihat wajahku yang merah padam karena malu. Sesudah itu, kembali ibu Anna mempercepat temponya, dan kembali tanpa tertahan lagi aku mendapatkan kenikmatan yang selama ini belum pernah kurasakan. Kini setelah ibu Anna mengetahui rahasiaku, aku merasa tidak ada gunanya lagi untuk berpura-pura, aku mulai dengan perlahan ikut menggerakkan pantatku mengimbangi gerakannya, serta mulutku tak henti-hentinya mengeluarkan rintihan kenikmatan. Sesekali ibu Anna menghentikan gerakannya, pada saat itulah tanpa rasa malu, aku justru menggerakan pantatku memompa penis itu. Ibu Anna tertawa terbahak-bahak setiap kali aku melakukannya, apalagi setelah ibu Anna memegang penisku, ia mendapatinya sudah benar-benar tegang.

"Dasar banci!, kamu malah horny waktu dientot" katanya dengan pedas. Katanya sambil tangannya menepuk pantatku.
"Benar-benar menjijikan" sambungnya mengejekku. Sambil tak henti-hentinya dia mengeluarkan kata-kata hinaan yang menyakitkan. Pada saat itu aku merasa terhina sekaligus terangsang mendengar caciannya.

Beberapa menit kemudian, ibu Anna menarik penisnya hingga hampir keluar dari lubang anusku. Tanpa sadar aku memundurkan pantatku agar penisnya tidak keluar, kemudian dengan gerakan perlahan, ibu Anna berjalan mundur. Aku tahu ini dimaksudkan agar aku mengikutinya. Aku hampir saja terjerembab ke depan setelah kedua tanganku yang terikat, tidak lagi mempunyai tempat tumpuan, namun dengan sigap ibu Anna memegang kedua pinggulku agar aku tidak terjatuh. Dapat kurasakan kedua tangannya yang halus menahan berat tubuhku, dalam hati aku heran juga bagaimana caranya wanita yang dari luar tampak anggun ini bisa mempunyai tenaga yang lumayan kuat. Kemudian dengan perlahan aku mencoba meletakkan tanganku di lantai, karena tubuhku boleh dibilang lentur, berkat sering bermain sepakbola, dengan mudah aku dapat melakukannya. Dan dengan keadaan demikianlah kami secara perlahan berjalan keluar dari kamar mandi itu.

Sesampainya di tepi ranjang, ibu Anna membantuku untuk berbaring telentang di tengah-tengah ranjang itu, sedangkan dia kini berada diatas tubuhku, kami melakukannya tanpa membuat penis itu keluar dari tempatnya. Kedua tangannya menggenggam kedua pergelangan kakiku kemudian merentangkan keduanya, setelah itu dengan perlahan kedua kakiku didorongnya hingga lututku hampir menyentuh dadaku yang mengakibatkan bagian pinggang kebawah terangkat ke atas. Sesudah itu, ibu Anna kembali memompa penisnya dengan perlahan dalam lubang anusku. Setelah beberapa saat lamanya, ibu Anna mempercepat pompaannya. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang kurasakan saat itu, namun jelas itu adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa.

"Mana suaranya?" tanya ibu Anna sambil mempercepat pompaannya. Dengan suara perlahan aku merintih-rintih kenikmatan.
"Yang kenceng! perek" bentak ibu Anna gusar, sambil dengan tiba-tiba dia menghujamkan penisnya dalam-dalam.
"Aaahh" jeritku tak dapat menahan sensasi yang kualami.

Ibu Anna terus memompa dengan kencang, sampai-sampai terdengar bunyi beradunya paha ibu Anna dengan pantatku. Aku terus-terusan menjerit histeris seperti layaknya pelacur setelah menerima kenikmatan yang bertubi-tubi. Inilah kali pertamanya dalam hidupku, aku mengalami kenikmatan yang begitu intens. Meskipun baru pertama kalinya aku melakukan seks seperti itu, namun aku dapat mengatakan dengan pasti jika ibu Anna benar-benar ahli dalam hal itu. Terkadang ibu Anna memperlambat, kemudian mempercepat pompaannya dengan tiba-tiba. Sesaat kemudian ibu Anna berhenti secara tiba-tiba sehingga membuatku menjerit-jerit frustasi akibat ulahnya.

"Kamu harus memohon" katanya sambil menahan tawa melihat tingkahku yang seperti pelacur murahan.

"Please bu" kataku dengan terengah-engah.

"Please apa?" katanya lagi padaku.

"Please bu.. Saya mohon ibu melakukannya" kataku dengan lemah.

"Melakukan apa?" tanyanya lagi seakan masih tidak puas mendengar ucapanku. Aku terdiam sejenak untuk berpikir kata apa yang akan kugunakan untuk menjawabnya.

"Senggama" jawabku setelah berpikir.

"Dasar kontol, lu kira sekarang ini lagi belajar bahasa indonesia hah!, bilang ngentot" kata ibu Anna dengan gusar mendengar jawabanku yang memang konyol itu.

"Saya mohon ibu Anna ngentotin saya" kataku tanpa malu-malu lagi setelah tersiksa dengan kenikmatan yang kini tertunda.

"Ngentotin apa kamu?" kembali dengan menjengkelkan, ibu Anna bertanya padaku.

"Lubang anus saya" jawabku cepat.

"Untuk selanjutnya bilang vagina, ngerti?" kata ibu Anna setelah mendengar ucapanku. Aku segera mengiyakan perkataannya.

"Sekarang bilang yang lengkap" katanya padaku sambil tangannya merenggangkan kakiku lebih lebar lagi, dan menarik penisnya sehingga tinggal ujungnya saja yang masih tertanam dalam "memekku".

"Saya mohon ibu mau ngengtotin vagina saya" kataku padanya cepat karena khawatir ibu Anna akan berubah pikiran.

"Yang keras" sahut ibu Anna mendengar perkataanku.

"Saya mohon ibu mau ngentotin vagina saya" jawabku setengah berteriak karena frutasi.

Aku sudah tidak peduli jikalau ada orang yang mendengar perkataanku itu, sekarang ini sudah tidak ada logika dalam kepalaku, yang ada hanyalah nafsu birahi. Sedetik kemudian, dengan cepat ibu Anna menghujamkan penisnya sampai pangkalnya.

"Aaahh" jeritku panjang merasakan nikmat dan perih yang menjadi satu.

Setelah diam dalam posisi demikian sejenak, kemudian barulah dia mulai menggerakan pinggulnya memompa penisnya didalam memekku. Dengan konstan, ibu Anna mempercepat pompaannya sampai sesaat kemudian dia sudah mencapai kecepatan maksimal. Derit ranjang serta derai keringat yang jatuh ke tubuhku seakan menjadi bukti liarnya permainan kami. Belum pernah penisku sedimikian tegangnya dalam hidupku sebelumnya, sampai-sampai terasa nyeri akibat banyaknya darah yang terkumpul disana. Setelah sekitar semenit ibu Anna memompaku dengan kecepatan luar biasa, dengan tiba-tiba dia kembali menghujamkan penisnya dalam-dalam, dan tahu-tahu saja aku merasa ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam tubuhku.

"Aaahh" jeritku dengan kencang ketika penisku sudah tidak tahan lagi untuk melepaskan sperma yang sudah lama terkumpul di testisku.

Dengan kencang, spermaku menyembur keluar mengenai perutku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengalami ejakulasi meskipun aku sama sekali tidak menyentuh penisku. Setelah itu gelombang demi gelombang kenikmatan menjalar diseluruh bagian tubuhku, sehingga tanpa dapat kutahan tubuhku gemetar karena menahan nikmat. Mataku kupejamkan untuk lebih menikmati moment itu, moment terindah dalam hidupku saat itu. Ini adalah orgame yang terhebat dalam hidupku.

"Menjijikan" kata ibu Anna sambil menarik keluar penisnya dan melepaskan kedua pergelangan kakiku yang dipegangannya.

Selang beberapa saat kemudian barulah aku mulai dapat menguasai diriku. Aku merasa kosong sekali setelah penis itu meninggalkan tempatnya, seakan perutku tadi dibelit ikat pinggang yang kencang, dan sekarang sudah dilepaskan. Ketika kubuka mataku, kulihat ibu Anna sudah berada di sebelahku. Tangannya memegang sendok plastik, dan dengan benda itu, ibu Anna menyendoki seluruh sperma di perutku.

"Bangun" kata ibu Anna padaku.

Dengan malas aku mencoba untuk menegakkan tubuhku. Hampir seluruh bagian tubuhku terasa lemah, padahal bisa dibilang sedari tadi ibu Anna lah yang bekerja. Sesaat kemudian aku sudah duduk tegak di ranjang, kulihat ibu Anna menuangkan sperma yang tadi di tampungnya di sendok ke penisnya dengan merata.

"Jilat sampai bersih" kata ibu Anna kemudian.

Ini adalah hal yang paling tidak kusukai, karena tentu saja sesudah ejakulasi, aku sudah tidak bergairah lagi untuk melakukannya, tapi nampaknya ibu Anna tidak mau tahu, dengan mata melotot ia memandangku yang terlihat sangsi. Penis itu terlihat bersih, aku sendiri heran bagai mana mungkin bisa terjadi, mungkin karena enema yang tadi ibu Anna berikan.

"Mau tidak?" tanyanya dengan geram.

Aku kemudian mengangguk lemah mengiyakan. Dengan perlahan aku mulai menjilati ujung penis itu. Ada tercium sedikit bau kotoran memang, namun ternyata tidak seburuk yang kuduga. Secara perlahan aku mulai memasukan penis itu ke dalam mulutku. Bau khas sperma bercampur dengan bau kotoran dan baby oil tercium oleh hidungku, namun aku masih meneruskan pekerjaanku yang memang masih jauh dari bersih itu. Dengan perlahan kujilati spermaku sendiri yang kini berada di penis itu. Membutuhkan waktu sekitar dua menit bagiku untuk menyelesaikan pekerjaanku itu. Sesudah selesai melakukannya barulah aku merasa mual ingin muntah, namun sebisanya aku menahan perasaan itu. Setelah penisnya selesai dibersihkan, ibu Anna segera beranjak pergi meninggalkanku sendirian di ruang itu.

Aku merasa cukup lega setelah selesai melakukannya, karena aku mengira sekarang ini permainan ibu Anna sudah berakhir, sedangkan aku tadi melihat ibu Anna juga sudah bermandikan keringat dan pastilah dia kelelahan setelah melakukannya. Baru saja sedetik sesudah aku berpikir demikian, aku harus kembali menelan pil kekecewaan. Ibu Anna sudah kembali dengan membawa potongan-potongan pakaian berwarna merah muda serta sebuah benda yang tidak kukenal.

"Pakai ini" kata ibu Anna padaku sambil menyodorkan pakaian dalam genggaman tangannya.

Aku menyambutnya dengan kedua tanganku yang masih terikat. Disana kulihat sebuah celana dalam wanita super mini, dibagian depan hanyalah sebuah segitiga kecil, sedangkan bagian belakang hanyalah berupa sebuah tali. Selain itu ada juga bikini serta sebuah stocking lengkap dengan supporternya.

Kesemuanya satu warna, pink. Dengan tak banyak bicara, ibu Anna membuka ikatan pada tanganku. Setelah itu aku sudah tidak punya alasan untuk mengabaikan perintahnya. Dengan bantuan ibu Anna, aku mengenakan semua itu. Memang dalam beberapa jam terakhir ini, ini adalah pertama kalinya aku mengenakan sesuatu di tubuhku, tapi tetap saja aku merasa lebih baik bugil dari pada memakai pakaian seperti ini, karena kini aku benar-benar menyerupai pelacur dengan pakaian yang kukenakan.

Setelah itu, ibu Anna memerintahkanku untuk kembali berbaring di ranjang. Setelah aku melakukannya, ibu Anna membawa benda yang tadi di bawanya ke hadapanku. Benda itu bentuknya seperti kapsul dengan ukuran kurang lebih 25 centi dengan diameter 5 centi, berwarna hitam pekat serta terdapat semacam sabuk kulit ditengah benda itu, namun setelah kuperhatikan lebih lanjut, sabuk itu tidak terdapat tepat ditengah benda itu, melainkan agak ke ujung, sehingga terdapat 2 bagian, bagian yang panjang sekitar 17 atau 18 centi sedangkan bagian yang pendek sekitar 7 atau 8 centi yang dipisahkan sabuk itu.

Ibu Anna menyodorkan bagian yang panjang, kemudian menyuruhku menjilatinya, sudah kuperkirakan sebelumnya. Baru saja aku mulai menjilati benda itu, yang memang bentuknya agak mirip dengan penis itu, ibu Anna sudah tidak sabar, dengan kasar dia memasukan hampir seluruh bagian benda itu ke dalam mulutku sehingga hampir saja aku tersedak. Selang sebentar saja, ibu Anna sudah mencabut benda itu, dan tampak air liurku sudah membasahi permukaan benda itu. Sesudah itu kembali dia memasukan benda itu ke dalam mulutku, kali ini bagian yang pendek, karena memang pendek, sekitar 7 atau 8 centi, benda itu tidak membuatku kesulitan, hanya saja karena diameternya yang cukup besar membuat rahangku sedikit sakit yang terbuka agak lebar.

Sesudah itu, dengan mengangkat kepalaku, ibu Anna mengaitkan sabuknya dengan kencang sekali dibelakang kepalaku. Sesudah benda itu terpasangpun aku masih belum mengetahui dengan jelas apa kegunaannya. Rasanya mustahil jika benda itu hanya berguna untuk menyumbat mulutku kataku dalam hati, walaupun memang efektif karena aku kini tidak bisa mengeluarkan kata-kata apapun dari mulutku.

"Kamu tahu apa gunanya benda ini?" tanya ibu Anna padaku.

Dengan terpaksa aku menggeleng karena aku memang tidak mengetahui apa kegunaan benda ini, atau lebih tepat cara menggunakannya.

"Benda ini jauh lebih bisa memuaskan dari pada kontol kamu yang tidak ada gunanya itu" katanya sambil melepaskan celana dalam beserta penisnya itu.

Dengan hanya mengenakan BH saja, ibu Anna berdiri tepat di atas wajahku, kemudian dengan gerakan perlahan, ibu Anna berjongkok dan memposisikan bagian panjang benda tersebut ke dalam liang vaginannya. Perlahan ujung benda itu mulai memasuki liang vaginanya. Dengan bantuan air liur serta cairan vaginanya yang membanjir, nampaknya selain diriku yang mendapat orgasme ketika dientot dengan penis buatan itu, sang pemilik, dalam hal ini ibu Anna, tampaknya juga mendapatkannya.

Dengan mudah saja benda itu kini terbenam seluruhnya dalam vagina ibu Anna. Memang di bandingkan dengan penisku, benda itu masih jauh lebih besar, maka itu aku agak terkejut juga melihatnya dengan begitu mudah "ditelan" liang vagina ibu Anna. Sesudah itu, ibu Anna mulai menggerakan pinggulnya naik-turun. Selang beberapa saat kemudian, dia mempercepat gerakannya, lalu sesaat kemudian kembali memperlambatnya. Seiring dengan gerakan tubuhnya, kepalaku juga ikut melompat-lompat, untunglah saat itu aku berbaring di ranjang, jika dilantai tentunya akan menambah daftar penderitaanku. Entah sudah berapa kali aku hampir tersedak akibat benda di dalam mulutku itu, selain itu rahangku juga hampir copot rasanya akibat sesekali menahan berat tubuhnya. Satu-satunya hiburanku adalah aroma vagina ibu Anna yang memang sangat kusukai, dan buah dada sempurnanya yang melompat-lompat di dalam BH nya.

Hampir selama 5 menit, ibu Anna bertahan dalam posisi demikian, baru sesudah itu dia kemudian memutar tubuhnya, sehingga kini yang kulihat adalah bagian punggungnya. Pemandangan buah dada melompatnya kini sudah digantikan dengan lubang anusnya yang hanya berjarak beberapa mili dari hidungku, bahkan sesekali mengenainya akibat guncangan 8,0 skala richter yang dibuat ibu Anna. Memang boleh dikatakan lubang anusnya tidak berbau (entah bagaimana hal itu bisa terjadi), tapi kalian bayangkan saja sendiri bagaimana rasanya berada dalam posisi demikian!

Sesaat kemudian, dengan diawali dengan jeritan kenikmatan tanda orgasme, ibu Anna membenamkan vaginanya dalam-dalam ke benda tersebut. Jika bisa tentunya aku juga sudah ikut menjerit karena pada saat itu ibu Anna seakan-akan hanya menumpukan berat badannya di mulutku. Tulang pipi, tulang rahang serta gigiku terasa ngilu sekali akibat mendapat tekanan yang demikian besar, sedang hidungku juga tidak luput dari lubang anusnya. Untung kejadian itu hanya berlangsung sesaat saja. Sesudah itu ibu Anna mendemonstrasikan kelenturan pinggulnya dengan bergerak meliuk dan berputar dengan erotis. Dapat kurasakan cairan orgasmenya yang mengalir turun mengenai pipi dan daguku.

"Ambil nafas" kata ibu Anna dengan pelan sehingga hampir saja aku tidak mendengarnya.

Aku tidak mengerti mengapa ibu Anna memerintahkan hal seperti itu, namun saja kini aku sudah terbiasa untuk langsung melakukan perintahnya tanpa berpikir dahulu. Baru setengah jalan aku menghirup udara, tahu-tahu ibu Anna kembali membenamkan tubuhnya. Tentu saja hal itu membuatku terkejut karena lubang anus ibu Anna secara tiba-tiba menutup hidungku. Dengan cepat beban berat kembali menekan wajahku, bahkan kali ini terasa lebih berat dari pada sebelumnya.

Beberapa detik kemudian barulah aku tahu apa penyebabnya setelah merasakan kedua kakinya sedang memainkan penisku yang tanpa kusadari sudah kembali tegang. Ternyata kali ini ibu Anna benar-benar menduduki wajahku. Tanpa kedua kaki yang tadi sedikit banyak ikut membantu menyangga, kini seluruh berat tubuhnya diterima wajahku. Setelah itu untuk melengkapi penderitaanku, ibu Anna menggoyang-goyangkan pinggulnya yang mengakibatkan vagina, pantat dan lubang anusnya bergesekan keras dengan wajahku.

Semenjak tadi aku sudah berusaha sekuat tenaga menggunakan kedua tanganku untuk mengangkat tubuh ibu Anna yang menekan wajahku, namun tetap saja tubuh ibu Anna tidak bergerak walau sesenti. Dalam beberapa detik kemudian aku sudah merasa pandanganku berkunang-kunang karena otakku kekurangan suplai oksigen. Tanganku masih berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengangkat tubuh ibu Anna, sementara kedua kakiku menendang kesana kemari dengan frustasi. Jika dalam beberapa detik lagi aku masih belum bisa bernafas pastilah aku bisa celaka, atau setidaknya jatuh pingsan.

Akhirnya dengan seluruh tenaga yang masih tersisa, kudorong tubuh ibu Anna ke samping, dan ternyata usahaku berhasil, tubuhnya terjatuh kesamping sehingga memberikan jalan buatku untuk bernafas. Dengan tergesa-gesa aku langsung menghirup udara sehingga tanpa dapat kutahan, aku tersedak, namun karena ada benda didalam mulutku, aku tidak bisa terbatuk-batuk, hal itu membuatku sangat tersiksa sekali. Untung saja dengan sigap, ibu Anna kemudian membuka ikatan sabuk di belakang kepalaku dan mencopot benda itu dari mulutku. Barulah kemudian aku terbatuk-batuk tanpa henti.

Dengan tak mengucap sepatah katapun, ibu Anna meninggalkanku yang masih berusaha memulihkan jalan pernafasanku. Sesaat kemudian barulah nafasku mulai teratur dan pikiranku kembali terang. Aku kemudian melihat sekeliling, ternyata ibu Anna sedang mengganti pakaian. Ia melepaskan BH yang tadi dipakainya, dan selanjutnya ia mengenakan gaun tidur berwarna putih transparan sehingga memperlihatkan puting susu serta vaginanya dengan samar-samar.

Dengan masih tidak mengucap apa-apa, ibu Anna kemudian mengikat kedua tanganku dibelakang dengan tali. Barulah setelah itu ibu Anna mematikan lampu. Karena memang ranjang itu berukuran double, sehingga masih menyisakan banyak ruang setelah ibu Anna kemudian berbaring di sebelahku. Sesaat kemudian tampaknya ibu Anna sudah tidur terlelap. Sedangkan aku masih mengalami sedikit kesulitan karena ikatan pada tanganku yang membuatku benar-benar tidak nyaman, terlebih lagi BH yang masih kukenakan, yang kini entah kenapa terasa kencang sekali sehingga membuatku agak sedikit sulit bernafas, namun tak lama kemudian karena memang sudah benar-benar lelah, aku tertidur juga.

Ketika terbangun aku menyadari ibu Anna sudah tidak ada di tempatnya. Aku melihat jam dinding yang menunjukan sudah hampir jam 8 pagi. Yang pertama kali kurasakan ketika bangun adalah sekujur tubuhku yang pegal-pegal serta kehausan yang sebenarnya sudah semenjak kemarin, hanya saja aku tidak berani untuk mengatakan.

                                                              --==oo0oo==-
  jika ingin membaca cerita sebelumnya silakan klik tautan di bawah ini :
http://gwpendosa.blogspot.co.id/2016/04/my-teacher.html